Aroma Pemilu di Tengah Kondisi Pilu



Oleh : Ummu Fairuz

Aroma pemilu yang akan diadakan di negeri ini dua tahun lagi sudah terasa begitu pekatnya. Pesta rakyat empat tahunan kembali akan digelar. Pilpres dan pemilihan wakil rakyat akan dilaksanakan tahun 2024.
Kendati masih jauh, namun euforia sudah terasa saat ini. Para kontestan pemilu mulai mempromosikan partainya, hingga memajang atribut partainya di jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Hal semacam ini sudah biasa adanya. 

Beberapa partai peserta pemilu mulai mendekati tokoh-tokoh terkenal  untuk dijadikan calon andalan menuju pilpres mendatang.
Bermunculan nama-nama di sejumlah survei Capres seperti Ganjar Pramono, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, bahkan Jenderal Andika Perkasa.

Ramainya suasana pencalonan tampak nyata dalam demokrasi. Adu sikut, tarik-menarik kepentingan, hingga "membajak" calon dari partai lain pun bisa dilakukan. Itu semua dilakukan agar bisa meraup suara terbanyak dari calon yang dijagokan.
Tanpa melihat dengan seksama, apakah calon tersebut mempunyai kemampuan dan kapabilitas mengurus rakyat atau tidak? Apakah mereka juga memiliki sikap amanah, tanggung jawab serta profesional terhadap jabatannya selaku pelayan umat atau tidak? Sangat disayangkan, justru sesuatu yang penting ini malah diabaikan. 

Tidak mengherankan, jika di negeri ini pemilu yang sudah berkali-kali digelar, pemenangnya pun bukanlah sosok yang diharapkan oleh masyarakat. Akan tetapi, sosok yang diusung oleh para kapitalis. Mereka memiliki kepentingan untuk menguasai negeri ini melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para pejabat pemenang pemilu. Para pejabat dengan sukarela membuat kebijakan pro kapitalis sebagai aksi balas budi atas kemenangannya di ajang pemilu. Sungguh miris! 

Demokrasi telah menempatkan orang-orang yang tidak pro rakyat, serta melahirkan para pemangku kebijakan yang tidak bijak. Minim kemampuan dalam mengurusi kepentingan rakyat dan jauh dari visi menyejahterakan rakyat karena berjalan tidak di atas jalan kebenaran. Terlebih,  tidak berjalan di atas aturan Sang Pencipta.

Sudah menjadi rahasia umum, jika pemilu dalam sistem demokrasi selamanya tidak akan pernah bisa mengantarkan masyarakat menuju perubahan kehidupan yang lebih baik. Justru, akan semakin banyak ditemui kerusakan demi kerusakan yang terjadi. 

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk kembali pada sebuah sistem kehidupan yang telah terbukti selama kurun waktu 14 abad lamanya berjaya membawa peradaban mulia, serta menjadikan kehidupan penuh keberkahan, yaitu syariat Islam. 

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak