Oleh : Mauli Azzura
Di lansir dari kajian riset politik bersama Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (Mas Endrianto) Pada pertengahan tahun tepatnya tanggal 16 Agustus 2019 Presiden Republik Indonesia Bpk. Joko Widodo meminta izin kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan. Namun demikian, selama tahun 2020 hingga pertengahan 2021 wacana pemindahan tersebut nampaknya terhenti akibat refocusing kebijakan untuk menangani pandemi Covid-19. Hal tersebut dapat diamati dari pidato kenegaraan Presiden Jokowi tahun 2020 dan 2021 yang biasanya menguraikan rencana kebijakan strategis nasional, sama sekali tidak menyinggung rencana pemindahan IKN. Baru setelah pandemi Covid-19 mereda di triwulan akhir 2021, wacana pemindahan IKN kembali muncul disertai sejumlah kebijakan yang menimbulkan polemik di masyarakat.
Ambisi dan keseriusan pemerintah terkait pemindahan IKN tampak dari pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) hingga kebijakan terbaru yang melantik Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN pada 10 Maret 2022. UU IKN pun telah menetapkan nama ibu kota baru yakni 'Nusantara,' serta mengatur beberapa aspek strategis mulai dari cakupan wilayah geografis, bentuk dan susunan pemerintahan, penataan ruang dan pertanahan, pemindahan kementerian/lembaga, pemantauan dan peninjauan, hingga sumber keuangan. Berdasarkan laporan Pansus RUU IKN, pembentukan UU IKN dimaksudkan supaya ada kepastian hukum yang jelas dan kontinu (legitimate) mengenai status dan proses pemindahan IKN. Jika ditinjau dari perspektif politik, pembentukan UU IKN tersebut dijadikan sebagai jaminan yuridis bahwa proses pemindahan IKN nantinya tidak serta merta bisa dibatalkan. Dengan demikian, ada kontinuitas kebijakan yang berkelanjutan meski terjadi pergantian pemegang kekuasaan, baik di rumpun eksekutif maupun legislatif. (Kompasiana.com 02/06/2022)
Patut kita mengetahui, apa tujuan dari pemindahan ibu kota tersebut, dan apa kemanfaatan dan faedahnya lebih besar dari pada hanya sekedar membelanjakan uang rakyat. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa dulu, Selasa 18 Januari 2022 pemerintah secara resmi telah mengesahkan UU IKN sebagai legitimasi mendasar rezim untuk memindahkan pusat ibu kota ,sekaligus menamainya dengan sebutan " Nusantara". Hal yang sangat kontras tatkala negri ini tengah perlahan keluar dari pandemi berkepanjangan.
Jum'at 18 Maret 2022 pemerintah menggelar hajatan besar- besaran yang tak sedikit mengucurkan dana baik dari APBN maupun BUMN yang angkanya sangat fantastis mencapai 5,58 T. Dalam salah satu cuitan nya , Menteri Pariwisata sesumbar raja hutan, dirinya mengklaim bahwa gelaran Gp Mandalika meraup untung 4,5 T. Padahal secara matematis tidak dijelaskan secara rinci dan tidak masuk di akal, mengingat modalnya saja hampir menyentuh angkan 6 T. (Kompas.com 22/03/2022)
Apakah itu semua adalah aji mumpung disaat rakyat terbungkam oleh aturan maen oligarki?
Aturan main yang terus di upgrade oleh rezim di negri ini , seolah menjadi alat dan kesempatan mereka untuk mengelabuhi rakyat dan lawan politiknya dan tentu akan syarat dengan korupsi disetiap mega proyeknya. Rezim tidak mengenal rasa belas kasihan, peduli terhadap nasib rakyatnya. Terlebih contoh helatan besar diatas hanyalah hal yang mubadzir, yang harusnya dana tersebut bisa membantu meringankan ekonomi rakyat yang tepat sasaran.
Allah SWT berfirman
اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
"Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih"( Q.S. As Syura : 42 ) .
Dalam sebuah ungkapan al-Qawm khaadimuhu mempertegas tentang kedudukan seorang pemimpin , beliau mengungkapkan bahwa "Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya"
Demokrasi yang sejatinya adalah warisan penjajah, telah mendarah daging di negri ini lewat kaki - kaki mereka untuk menggerogoti negri-negri Muslim, tak terkecuali di negri ini. Semua itu telah berjalan secara sistemis , dan lebih dari itu semua , salah satu hajatan besar lima tahunan yang pastinya menelan anggaran tak sedikit adalah pilpres.
Sesumbar apakah mereka, apakah mereka mengira yang diperlihatkan kepada rakyatnya mendongkrak kredibilitas demokrasi? yang kesemuanya itu hanyalah fiktif dan mimpi saja. Mengharap kebaikan ada didalamnya, mengharap keadilan ada di setiap hukum-hukum nya, itu tidaklah benar.
Apapun yang dilakukan oleh rezim adalah sebuah kebohongan publik. Tipu daya orang- orang kafir dan munafik akan terus gencar demi menenggelamkan lawan- lawan politiknya, termasuk politik islam yang saat ini terus melaju dengan cepatnya atas seruan diterapkannya syariat islam secara kaffah. Sehingga berbagai upaya yang ada bertujuan menina bobokan rakyat agar larut dalam uforia rezim.
Demokrasi adalah sistem yang buruk dan rapuh, akibat diterapkannya sistem itu, negri- negri kaum muslimin terkotak-kotak oleh nasionalisme, sehingga ukhuwah islamiyah yang telah dibangun oleh Rasulullah Saw berhasil mereka lemahkan.
Sudah saatnya kita tersadar dari sihir demokrasi , harusnya kita bangkit dan menyadari bahwa hanya diterapkannya sistem islam, kita menjadi manusia yang sebenarnya. Bukan menjadi atau pengikut orang - orang kafir , termasuk orang- orang yang mendukung eksistensi sistem demokrasi kapitalis. Jangan sampai kita larut dalam tipu daya mereka , karena Rasulullah Saw telah memperingatkan kepada kita :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319 )
Pentingnya kesadaran berfikir yang benar tentunya akan memberikan kekuatan bagi kita agar tidak terpengaruh oleh tipudaya mereka. Sehingga kita mampu menilai bahwa apa yang ada dalam sistem demokrasi hanyalah kebohongan yang menyesatkan.
Dengan kesadaran yang benar , kita tidak akan mengikuti dan melangkah dijalan yang salah. Bersamaan dengan itu pula kita menjadi poros revolusi yang besar, yang telah lama didamba-dambakan oleh seluruh umat manusia , yakni tegaknya kembali Khilafah ala Minhajn Nubuwwah diatas mabda' Islam.
Wallahu a'lam bishshowab.