Urusan Panjang Jama'ah Haji, Tidak Berhenti Hingga Khilafah Kembali



Oleh : Tri Silvia
 (Pemerhati Masyarakat)

Syawal telah dipenghujung waktu, dzulqo'dah dan dzulhijah pun akan segera menghampiri kita semua, umat Islam. Dari dua bulan tersebut, dzulhijah adalah bulan mulia yang didalamnya terdapat pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seluruh umat Islam di dunia. Pelaksanaan yang tidak hanya melibatkan jama'ah itu sendiri, melainkan juga pemerintah setempat. Berbagai persiapan telah dilakukan, namun nyatanya kabar buruk tetap saja menghampiri para jamaah yang sedianya akan diberangkatkan tahun ini. 

Berbeda dengan dua tahun kebelakang, pada tahun ini pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota jamaah haji yang cukup besar untuk Indonesia. Yakni sejumlah 100.051 jama'ah, terdiri dari 92.825 untuk jamaah haji reguler dan 7.226 untuk jamaah haji khusus. Jumlah tersebut ditentukan langsung oleh pemerintah Arab Saudi tanpa proses negosiasi antar menteri sebagaimana tahun-tahun sebelumnya (bersifat mandatori atau given). Hal ini adalah kabar yang cukup menenangkan untuk para jamaah haji. Sebab sebelumnya, pemerintah Arab Saudi membatasi bahkan melarang para jamaah dari berbagai negara untuk mengunjungi Baitullah selama dua tahun pandemi covid-19. (Sindonews.com, 4/5/2022) 

Alhamdulillah tahun ini, hal tersebut melonggar seiring berkurangnya aktivitas penyebaran covid-19 dunia. Namun, tetap saja untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang terjadi dan menjaga kesehatan, ada 3 syarat yang diajukan pemerintah Arab Saudi untuk para jamaah yang akan memasuki Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji. Tiga syaratnya yakni; 1. Para jama'ah haji telah memenuhi vaksinasi dasar covid-19, 2. Melakukan tes PCR minimal 17 jam sebelum penerbangan, 3. Memiliki usia dibawah 65 tahun. (m.antaranews.com, 19/5/2022) 

Ketiga syarat tersebut mungkin tergolong wajar bagi pemerintah Arab Saudi, namun menjadi masalah besar bagi jamaah haji Indonesia. Pasalnya, administrasi yang sulit, mahalnya biaya perjalanan dan adanya batas waktu dan kuota pemberangkatan menjadi penghalang sebagian jama'ah untuk berangkat. Alhasil, jama'ah haji kita dipenuhi para lansia yang telah menunggu puluhan tahun antrian untuk mendapat jatah pelaksanaan haji. Belum lagi pengorbanan harta yang sudah mereka keluarkan, mereka sampai harus menjual tanah dan rumah untuk biaya perjalanan tersebut. Membatalkan sepihak tentunya adalah hal yang tidak adil bagi mereka. 

Masalah berikutnya datang dari persyaratan terkait vaksinasi lengkap covid-19. Masih banyak jama'ah haji yang belum melaksanakannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy pada Kamis (19/5). Beliau menyampaikan bahwa ada sekitar 17 ribu dari sekitar 100 ribu jama'ah haji Indonesia yang belum memenuhi syarat administrasi sebagaimana yang disebutkan di atas, terutama terkait dengan vaksinasi covid-19. Hal ini harusnya menjadi konsen pemerintah untuk segera dituntaskan. (m.antaranews.com, 19/5/2022) 

17 ribu adalah jumlah yang tidak sedikit, mengingat pentingnya pelaksanaan ibadah haji tersebut. Sebagai salah satu bagian dari rukun Islam yang wajib dipenuhi, ibadah haji harusnya menjadi perhatian khusus bagi para pemegang tahta kuasa negeri ini. Jangan sampai ribuan jama'ah tersebut batal melaksanakan ibadah hanya karena kelalaian pemerintah dalam kepengurusan administrasi mereka. Ibadah haji hakikatnya adalah ibadah yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Alhasil seharusnya segala hal meliputi kepengurusan ibadah ini bisa diurus dengan baik jauh sebelum waktunya, sehingga pemerintah bisa mengantisipasi segala masalah yang muncul kemudian secara cepat dan efektif.

Sebagai akibat dari permasalahan ini, ada banyak kekecewaan yang terhimpun dari para jama'ah yang gagal diberangkatkan. Dan semua hal itu hakikatnya merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalis seperti saat ini. Penerapannya hanya akan menimbulkan kekecewaan dan kesengsaraan rakyat, sebab sistem yang terlalu memperhatikan materi dan keuntungan. Mereka sangat perduli dengan urusan para pemodal atau investor, namun tidak terlalu perduli dengan urusan rakyatnya.

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan yang terjadi kala sistem Islam diterapkan di tengah-tengah umat. Segala macam hal yang berhubungan dengan kebutuhan dasar rakyat sangat diperhatikan pemenuhannya, terutama yang berhubungan dengan masalah ibadah. Islam menganggap segala kebutuhan dasar rakyat sebagai tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh penguasa. Dan melalaikannya adalah kezaliman dan dosa besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Mereka akan merugi, tidak hanya di akhirat tapi juga di dunia. 

Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis yang artinya;
“Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.”
(Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

Seorang khalifah senantiasa memperhatikan kebutuhan rakyat dalam hal ibadah, terutama terkait pelaksanaan ibadah haji. Dan hal tersebut pun nyata adanya dan tercatat dalam kisah-kisah masyhur yang melegenda. Buktinya bahkan masih ada dan bisa kita lihat hingga saat ini. Para khalifah sangat memperhatikan nasib para jama'ah haji, bahkan senantiasa berusaha untuk meningkatkan kenyamanan mereka dalam beribadah. Salah satunya dilakukan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid dari Kekhalifahan Abbasiyah bersama istrinya Zubaydah binti Ja'far.

Beliau membangun infrastruktur jalan sepanjang 900 mil dari Kufah hingga Makkah yang disebut Darb Zubaydah (Jalan Zubaydah). Jalan ini adalah salah satu rute paling awal yang dibuat khusus untuk para peziarah (780 M). Pembangunan ini dilakukan sebab dorongan rasa kepedulian yang besar terhadap para jamaah miskin yang menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Selain menyediakan jalanan, beliau pun membuat sembilan tempat pemberhentian dengan jarak tertentu. Total ada 54 tempat pemberhentian untuk beristirahat, yang meliputi kolam (sumber air), tempat berteduh, dan kadang-kadang sebuah masjid kecil. Selain itu, beliau juga membuat serangkaian sumur dan saluran yang digali sepanjang rute haji dari Lembah Nu'man ke Makkah. Sumur-sumur tersebut (sumur 'Ayn Zubaydah) dibangun dengan perkiraan biaya 54 juta dirham. (m.republika.co.id, 5/10/2022) 

Selain akses untuk para pejalan kaki, dibangun pula jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus dan Madinah pada tahun 1900 M oleh Sultan Abdul Hamid II. Sebagaimana sebelumnya, infrastruktur inipun dibangun dengan tujuan untuk memudahkan para jama'ah haji menuju ke Makkah. Bayangkan saja, para jama'ah haji harus menghabiskan waktu hingga 40 hari menunggang unta dari Damaskus ke Madinah. Dan dengan jalur kereta api Hejaz, lama perjalanan pun bisa dipersingkat menjadi lima hari perjalanan. (bbc.com, 27/7/2022) 

Hal diatas terkait dengan perjalanan darat para jama'ah haji, berbeda lagi kisahnya dengan perjalanan jama'ah yang melalui jalur laut. Semua akses haji pada jaman tersebut dijaga dan sangat diperhatikan oleh para pemimpin, meskipun mereka kemudian harus merogoh kocek sedemikian besar dalam proses pembangunannya tanpa mengambil sepeserpun dana dari jama'ah. Semua dilakukan sebagai bukti pelayanan kepada umat, dan juga bukti penghambaan pada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.

Hal tersebut jauh berbeda dengan apa yang terjadi hari ini. Jama'ah haji dimanfaatkan, diambil dana sebesar mungkin untuk pelayanan maksimal menuju Baitullah. Dan untuk bisa melaksanakannya pun para jama'ah harus menunggu hingga puluhan tahun dengan antrian yang mengular pula. Alhasil, perjalanan itupun menjadi perjalanan mewah sekaligus sulit bagi sebagian besar umat Islam Indonesia. Belum lagi terkait dengan ketidaksigapan panitia dalam kepengurusan ibadah haji, termasuk yang terjadi tahun ini. Kelalaian-kelalaian yang ada seharusnya bisa diantisipasi dengan cepat tanpa mengorbankan para jama'ah. Seandainya urusan ini menjadi prioritas para pemegang kuasa dan kebijakan, maka semua hal tersebut tidak akan pernah terjadi.

Sungguh rindu, pengawasan dan perhatian dari penguasa sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah terdahulu. Yang pastinya memang tidak bisa kita rasakan saat ini, dimana sistem yang diterapkan masih menggunakan kapitalisme. Memang betul kiranya judul artikel, 'Urusan Panjang Jama'ah Haji, Tidak Berhenti Hingga Khilafah Kembali'. Semoga Allah merahmati kita semua umat Islam sehingga kekhilafan pun bisa segera kembali sebagaimana contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin setelahnya. Aamiin. 

Wallahu A'lam bis Shawwab

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak