Oleh: Hamnah B. Lin
Hari raya Idul Fitri identik dengan unjung-unjung, halal bihalal ataupun silaturrahim. Ada sebuah hadits yang nyatanya mengabarkan adanya pahala jika kita mengamalkan silaturrahim. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi.” (HR Mutttafaqun ‘alaih).
Makna silaturahmi atau silaturahim (صِلَةُ الرَّحِمِ/shilah ar-rahim) sendiri, menurut bahasa berasal dari kata “shilah” dan “ar-rahim”. Shilah artinya hubungan, dan ar-rahim—bentuk jamaknya al-arham—berarti rahim dan kerabat.
Kata “arham” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh kali dengan makna “rahim” dan lima kali dengan makna “kerabat”. Oleh karena itu, “silaturahmi” secara bahasa adalah ‘hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang terkait melalui rahim’.
Menurut Imam an-Nawawi, silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, memberi salam, dan cara lainnya. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim II, 201)
Allah Swt.pun memerintahkan untuk menjalin silaturahmi. Allah Taala berfirman,
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An–Nahl: 90).
Allah Swt. telah memerintahkan kaum muslim untuk menjalin hubungan silaturahmi dan berbuat baik terhadap kerabat secara keseluruhan. Kerabat di sini ada dua macam:
Pertama, kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Mereka terdiri dari dua kelompok, yakni ashabul furudh (orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan) dan al-‘ashabah (mereka yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dari warisan, tapi syariat menyatakan mereka mengambil sisa dari harta warisan).
Kedua, dzawi al-arham, yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan bagian warisan dan bukan pula ‘ashabah. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: Mereka ini (dzawil arham), berjumlah sepuluh orang yaitu: (1) paman (saudara lelaki ibu); (2) bibi (saudara perempuan ibu); (3) kakek dari pihak ibu; (4) anak lelaki dari anak perempuan; (5) anak lelaki dari saudara perempuan; (6) anak perempuan dari saudara laki-laki; (7) anak perempuan dari paman (saudara lelaki bapak); (8) bibi (saudara perempuan bapak); (9) paman dari ibu; (10) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; serta siapa saja yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam)
Adapun untuk mereka yang tidak ada hubungan kerabat dengan kita, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk dalam menjalankan perintah bersilaturahmi. Walhasil, pahalanya pun tidak sama dengan pahala bersilaturahmi. Aktivitas kebaikan tersebut juga tidak akan memanjangkan umur dan melapangkan rezeki karena tidak termasuk silaturahmi.
Sedangkan kepada nonmuslim yang masih ada hubungan kerabat, perintah bersilaturahmi kepada mereka masih tetap berlaku, semuanya tentu dengan batasan syariat. Sedangkan kepada nonmuslim yang tidak ada hubungan kerabat, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk silaturahmi, tetapi juga bukan termasuk aktivitas shilah ukhuwah.
Islam memerintahkan menjalin shilah ukhuwah hanya kepada sesama muslim sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujurat: 10, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Berdasarkan ayat di atas, Allah menggunakan kata “ikhwah” atau saudara untuk menjelaskan hubungan sesama umat muslim. Sedangkan hubungan muslim dengan nonmuslim tidak pernah disebut dengan menggunakan istilah “ikhwah” atau “saudara”.
Sekalipun demikian, umat Islam diajarkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, termasuk nonmuslim. Tidak ada larangan bagi muslim berbuat baik, bertetangga, maupun bergaul dengan nonmuslim, selama mereka tidak mengajak kepada maksiat dan permusuhan.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Mumtahanah [60]: 8—9, "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim".
Waktu silaturahmi sendiri tidak ada ketentuannya, kapan saja bisa dilakukan, bukan hanya saat hari raya. Bahkan salah jika ada yang memaknai bahwa silaturahim dilakukan saat hari raya saja. Karena inti dari silaturahmi adalah menjaga hubungan kekerabatan.
Silaturahmi juga diwujudkan dengan membantu dan meringankan kerabat yang kesulitan. Jika miskin, bisa kita beri zakat atau sedekah dengan syarat mereka bukan orang yang nafkahnya dalam tanggungan kita. Adapun jika mereka termasuk orang yang mampu, bisa kita beri hadiah.
Salah satu kemuliaan ajaran Islam adalah sunah saling memberi hadiah. Hal ini akan melembutkan hati, menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang; serta menghilangkan perasaan yang dapat merusak persaudaraan, seperti hasad, dengki, dendam, dan iri.
Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari)
Silaturahmi juga dilakukan dengan memberikan nasihat pada keluarga dan kerabat yang melakukan keburukan atau menyimpang dari ajaran Islam. Silaturahmi bisa menjadi sarana dakwah untuk mengajak keluarga dan kerabat taat pada syariat Islam secara keseluruhan (kafah). Tentu saja dengan memilih waktu dan cara yang tepat supaya target menyampaikan kebenaran Islam tidak mengganggu suasana akrab dan menyenangkan.
Salah satu hal yang terpenting dalam silaturahmi adalah haramnya memutus tali silaturahmi. Siapa pun yang melakukannya, nerakalah yang lebih layak untuknya. Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (memutus tali silaturahmi).” (HR Muslim)
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturahmi itu bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (HR Bukhari)
Begitu besarnya dosa memutus silaturahmi dan begitu besarnya pahala menyambung silaturahmi, maka tentu ini mendorong kita untuk benar-benar menjaga tali silaturahmi ini agar tidak sampai putus dan segera menyambungnya ketika sudah telanjur putus.
Namun ada beberapa kaum muslim yang terkendala untuk melakukan amalan silaturahim disebabkan tidak ada dana untuk mengunjungi. Kesulitan ekonomi yaang kian mencekik, lapangan pekerjaan yang semakin sulit didapat membuat kaum muslim kesulitan menyambung silaturahmi. Ditambah biaya transportasi yang tidaklah murah, semakin berpikir ulang untuk bisa silaturahmi, bahkan dengan orangtua sendiri.
Inilah kapitalisme yang membuat umat tercerai berai, baik tali silaturahmi maupun tali persaudaraannya kepada sesama muslim. Karena kapitalis tahu betul, jika umat Islam bersatu, kekuatan mereka untuk memperkaya diri akan sirna.
Dengan sistem Islamlah, syariat silaturahim dan syariat yang lain akan bisa terterap dengan sempurna. Maka tak ada alasan lain selain membuang kapitalis dan mengambil Islam untuk diterapakan ditengah-tengah manusia.
Wallahu a'lam