Oleh : Ummu Fairuz
Hingga saat ini, kekerasan masih saja dijadikan sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat. Seperti halnya kasus klitih yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2021 tercatat 58 kasus, bahkan pernah memakan korban pada tahun 2016. Terbaru kasus di Yogyakarta sampai korban meninggal dunia (liputan6.com, 3/4/2022)
Selain fenomena klitih yang membuat masyarakat resah ada lagi kasus yang terjadi yaitu perang sarung berujung maut. Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi menetapkan dua tersangka kasus tawuran sarung berujung maut di Jalan Raya Tambun Utara, Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, yang mengakibatkan satu korban DS (14) meninggal dunia pada Selasa (suara.com, 5/4/2022) dini hari.
Orang tua mana yang tidak bersedih hati melihat putra tercintanya meregang nyawa? Terlebih anak itu meninggal akibat aksi kekerasan. Begitulah yang dirasakan oleh orang tua dari Daffa Adziin Albasith (18). Putranya menjadi korban klitih (aksi kekerasan atau kejahatan dengan senjata tajam di jalanan yang dilakukan oleh anak-anak muda) di Yogyakarta.
Sangat disayangkan, sanksi yang diberikan tidak cukup membuat para pelaku jera. Rerata pelakunya dibebaskan setelah mendapat pembinaan karena masih berusia di bawah 18 tahun. Bagi pelaku yang diadili, umumnya hanya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Bahkan, terakhir sempat beredar wacana dari pejabat untuk menghapus istilah “klitih”.
Tindakan preventif juga sudah coba diambil oleh pihak berwenang yaitu berupa program Jaga Warga dan Penyuluhan Berkala.
Permasalahan klitih dan juga aksi kriminalitas anak lainnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada dengan sendirinya. Ini adalah imbas dari sistem sekuler liberalisme yang tengah mencengkeram negeri ini.
Dicampakkannya agama (baca: Islam) dari kehidupan, bahkan pelan tetapi pasti mulai diamputasi dari sistem pendidikan, telah membentuk generasi bingung akan jati dirinya yang berujung nihilnya rasa takut pada Allah Sang Penguasa kehidupan.
Akibatnya, mereka menjadikan hawa nafsu sebagai tolak ukur perbuatan. Para pelaku klitih dan perang sarung seolah mewujudkan gharizah baqo’, rasa ingin berkuasa dan menguasainya dengan aksi kekerasan.
Liberalisme yang mendewakan kebebasan juga telah membentuk generasi yang miskin rasa tanggung jawab. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa berpikir dampak perbuatannya sehingga dengan mudah menimpakan kesalahan pada pihak lain. Sering kali justru orang tualah yang harus menanggungnya.
Hal ini pula yang menjadi dilema jika penanganan pelaku klitih diserahkan pada orang tua. Alih-alih anak patuh, orang tua yang justru bisa jadi korban kekerasannya. Kasus semacam ini telah banyak terjadi, di mana anak menyakiti, bahkan sampai tega membunuh orang tua karena keinginannya tidak dituruti.
Hal ini diperparah dengan kegagalan dunia internasional memahami hakikat anak. Hukum internasional mendefinisikan anak adalah manusia yang berusia kurang dari 18 tahun dan tidak boleh ada sanksi pidana atas mereka. Hal ini telah membuat para penegak hukum gampang menjatuhkan sanksi yang menjerakan.
Padahal, definisi anak dalam hukum internasional tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Terbukti, yang berusia di bawah 15 tahun sekalipun telah banyak menjelma menjadi sosok tidak berbeda dengan orang dewasa. Suatu kesalahan besar ketika memosisikan mereka sebagai anak-anak yang setiap kesalahannya ditoleransi bahkan dibela.
Sekadar menerapkan Jaga Warga, Penyuluhan Berkala, ataupun memperbanyak CCTV di ruas-ruas jalan juga bukanlah solusi selama tiada sanksi menjerakan dan paradigma sekuler dan liberal masih melingkupi masyarakat.
Jika sistem yang diterapkan saat ini terbukti gagal membasmi klitih dan aksi kriminalitas lainya, sistem seperti apakah yang mampu menghapusnya secara komprehensif?
Pertama, sistem itu haruslah mampu memberikan batasan tepat tentang fase anak dalam kehidupan manusia. Hal ini penting agar perlakuan yang diberikan tepat sesuai perkembangan fisik dan psikisnya.
Kedua, memiliki seperangkat sistem pendidikan dan interaksi sosial yang mampu membentuk generasi bertakwa yang paham hakikat hidup, bertanggung jawab, dan mampu membawa kebaikan bagi dunia.
Ketiga, memiliki sanksi hukum yang tegas, adil, serta memberikan efek jera bagi pelaku dan juga masyarakat.
Ketiga syarat di atas hanya terpenuhi dengan sistem Islam. Sebagai aturan yang bersumber dari Allah Sang Maha Pencipta dan Pengatur, Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna (syaamilan) dan menyeluruh (kaamilan).
Allah yang menciptakan manusia, Allah pula yang memahami karakter manusia. Allah telah memberikan batasan masa kanak-kanak yang jelas, yaitu dengan batasan balig.
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al-hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin.” (QS An-Nuur: 59)
Jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda baligh bagi laki-laki adalah ihtilam (mimpi basah), sedangkan bagi perempuan adalah haid/menstruasi. Pada umumnya, anak laki-laki mengalami balig pada usia 12–15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9–12 tahun.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo menyatakan dalam buku Fiqh Anak, secara terminologi, “baligh” atau “al-bulugh” bermakna ‘habisnya masa kanak-kanak dan beralih menjadi dewasa’, yakni masa ia telah memiliki kelayakan mendapat tugas-tugas secara sempurna.
Artinya, mereka sudah terkena taklif (pembebanan) hukum; jika melanggar syariat akan berdosa dan jika menjalankan syariat akan mendapat pahala. Mereka telah bertanggung jawab atas segala perbuatannya, tak bisa melimpahkannya kepada pihak lain.
Bagaimanapun, baligh adalah suatu hal yang pasti. Tetapi, akil (matang dalam pemikiran) bukanlah sesuatu yang instan. Fakta membuktikan, banyak orang yang sudah baligh, bahkan berusia dewasa, tetapi sikapnya kekanak-kanakan.
Oleh karenanya, Islam memiliki sistem pendidikan berlandaskan akidah Islam yang mampu menciptakan generasi bertakwa, mampu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, dan sanggup menjadi khalifah fil ardh yang akan membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dengan sistem pendidikan ini, anak akan akil ketika mencapai usia balig.
Sistem sosial kemasyarakatan Islam juga turut serta menyokong tumbuhnya generasi bertakwa dan bertanggung jawab tersebut. Tidak akan ada hal-hal yang kontraproduktif dan memantik kemaksiatan, semacam budaya liberal, sekuler, dan segala ide-ide turunannya. Orang tua ataupun calon orang tua akan terbina ketakwaan dan pemahamannya sehingga sadar akan tanggung jawab mendidik anak. Masyarakat pun terbiasa menjalankan amar makruf nahi mungkar. Dengan demikian, generasi akan tumbuh dalam suasana keimanan yang positif dan penuh produktivitas.
Semua usaha di atas bersifat preventif, tidak lengkap jika tanpa adanya upaya kuratif. Oleh sebab itu, Islam juga memiliki sistem sanksi yang adil dan berefek jera. Semua perbuatan yang melanggar syariat, termasuk mengganggu bahkan menyakiti orang lain, termasuk kriminal (jarimah) yang harus diberi sanksi. Jika pelakunya belum balig, orang tuanya yang akan mendapat sanksi, sedangkan anak tersebut dibina dan dinasihati.
Terkait keadilan hukum Islam, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Islam sangat menghargai nyawa manusia. Tidak heran jika pelaku pembunuhan dikenai sanksi yang sangat berat. Sebagai gambaran, sanksi atas pembunuhan yang disengaja adalah dengan kisas (dibunuh pula), pembunuhan yang mirip sengaja (menggunakan alat tertentu dengan tujuan menyiksa atau menyakiti, tetapi ternyata korban meninggal) mendapat sanksi diat (tebusan) 100 ekor unta (40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting), sedangkan pembunuhan tidak disengaja adalah membayar 100 ekor unta sebagai diat.
Begitulah sistem Islam dalam membasmi tuntas klitih dan segala aksi kriminalitas anak. Sehingga, sudah selayaknya kita kembali pada aturan kehidupan yang bisa mengantarkan keberkahan bagi seluruh masyarakat, yaitu syariat Islam.
Wallahu a'lam bishshowab.