Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Istilah resesi seks mulai popular setelah beberapa waktu lalu istilah childfree popular di kalangan pasangan muda. Istilah resesi seks adalah berkurangnya keinginan menikah dan punya anak di kalangan milenial. Meski sifatnya hanya menunda baik untuk menikah maupun untuk memiliki anak, namun tentu ini menjadi masalah serius ketika kita jeli mencermati. Selain dampak secara ekonomi, banyak kalangan menganalisa bahwa resesi seks akan menghantarkan pada budaya childfree atau hidup berpasangan tanpa anak, yang tentu dampak ekstrimnya adalah berkurang populasi manusia (depopulasi).
Fenomena ini setidaknya telah menimpa lima negara maju, yaitu AS, Cina, Jepang, Korsel, dan kini yang sedang menjadi sorotan adalah Singapura. Pasalnya, Pemerintah Singapura berencana mengizinkan para wanita lajang untuk membekukan sel telurnya tanpa alasan medis mulai tahun depan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Channel News Asia (CNA) 2021, yang diangkat oleh CNBC Indonesia pada 28/4/2022, Pemerintah Singapura mengambil langkah demikian sebagai respons atas penurunan angka perkawinan yang memicu penurunan angka kelahiran sehingga para perempuan yang ingin menunda kehamilannya karena karier bisa berkesempatan mendapatkan anak pada masa tuanya—saat sudah tidak memproduksi sel telur.
Untuk Indonesia, kita juga sudah diperkenalkan dengan istilah egg frezzing atau egg banking sejak beberapa waktu yang lalu. Bahkan beberapa rumah sakit di Indonesia sudah menerima permintaan egg frezzing. Sempat menjadi berita viral, karena dilakukan oleh selebritas kelas nasional. Prosedur egg freezing atau pembekuan sel telur ini dilakukan untuk bisa punya momongan dengan hamil di lain waktu. Menurut Dokter Spesialis Kebidanan Kandungan, dr Benediktus Arifin, MPH, SpOG, egg banking adalah proses pembekuan sel telur. Metodenya ini mirip dengan prosedur yang dilakukan di In Vitro Fertilisation (IVF) atau bayi tabung. (www.hallobunda.com, 22/01/2022)
Sekilas, egg frezzing seakan menjadi solusi bagi mereka yang berkarir sehingga mereka tetap bisa memiliki anak dan ancaman depopulasi bisa dihindari. Namun demikian, solusi ini sangat terlihat merupakan tambal sulam dan hanya melahirkan persoalan baru. Pola asuh ibu pada usia pensiun dengan usia produktif pastilah berbeda. Bagaimanapun, kebugaran fisik seorang ibu adalah salah satu faktor penentu kualitas anak-anaknya. Bagaimana bisa mengasuh optimal di tengah fisik yang sudah renta?
Selain itu, gempuran peradaban sekuler kapitalistis menyebabkan cara pandang seseorang hanya terpenuhi materi. Apakah ada jaminan pada masa muda tidak ingin memiliki anak, lantas pada masa tua tiba-tiba menginginkan anak? Mungkin saja bisa terjawab dengan keluangan waktu yang mereka punya pada masa tua sehingga anak menjadi dambaan. Namun, logika ini menegasikan faktor terpentingnya, yaitu ekonomi. Merawat anak tentu butuh dana yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhannya sendiri. Lantas, apakah ketika muda mereka fokus bekerja untuk memperoleh kebahagiaannya (materi), sedangkan pada masa tua mendadak mereka rela “membuang-buangnya” untuk mengasuh anak?
Di sisi lain, pembekuan sel telur bukan tanpa risiko. Ia bisa menyebabkan kerusakan pada ovarium, pendarahan, infeksi, ataupun kerusakan pada usus, kandung kemih dan pembuluh darah. Apalagi tidak ada jaminan sel telur yang sudah dibekukan bisa terbuahi setelah dibekukan. Jelas solusi ini sekadar tambal sulam, bahkan menciptakan problem baru.
Jika kita telisik, fenomena “resesi seks” sejatinya merupakan persoalan yang tercipta dari cara pandang manusia yang materialistis. Pemberdayaan perempuan yang lahir dari feminisme memiliki peran penting dalam hal ini. Paham ini menganggap bahwa perempuan berdaya adalah yang menghasilkan materi. Kedudukannya harus sejajar dengan laki-laki, baik di publik ataupun domestik. Akhirnya, perempuan lebih mengutamakan kariernya dalam bekerja daripada menjadi ibu rumah tangga yang dinilai tidak memiliki kemandirian secara finansial. Akhirnya ia menyia-nyiakan masa mudanya. Dan ketika perekonomian sulit, memiliki anak hanya dianggap beban. Wajar jika pada akhirnya negara sekuler akan terus mengalami depopulasi.
Dalam pandangan Islam, syariat ada untuk mengatur sedemikian rupa agar umat manusia lestari dan harmonis. Pernikahan merupakan suatu akad yang agung sehingga para pemudanya berlomba-lomba untuk bersegera menikah setelah mampu. Keluarga Islam akan berlomba-lomba memperbanyak keturunan karena anak bukanlah beban, melainkan amanah dan anugerah yang Allah berikan pada sebuah keluarga. Sehingga ancaman depopulasi bisa dihindari. Wallahu a’lam bi ash showab