Oleh : Ummu Hanif, pemerhati Sosial Dan Keluarga
Kementerian ESDM yang memberikan sinyal akan terjadi kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan solar. Kebijakan ini diambil sebagai respon tingginya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi yang harus ditanggung negara. Bahkan, beberapa saat lalu sudah terlontar bahwa ada rencana dari negara atau pemerintah untuk menaikkan harga elpiji 3 kg.
Kebijakan ini tentu sangat memberatkan rakyat, mengingat berbagai kebutuhan pokok harganya juga mengalami kenaikan. Sementara kondisi perekonomian mayoritas masyarakat belum pulih dan kenaikan upah buruh juga sangat sangat minim. Bahkan, tidak sebanding dengan kenaikan harga yang terjadi saat ini.
Mirisnya, di tengah kondisi yang begitu berat tersebut justru berbagai proyek besar terus berjalan, Padahal proyek-proyek itu sangat tidak berkorelasi, bahkan tidak dibutuhkan sebenarnya oleh masyarakat, seperti pembangunan IKN. Dari sini terlihat bahwa ada manajemen keuangan atau anggaran yang tidak tepat oleh negara. Negara lebih memprioritaskan proyek strategis dibandingkan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Kalau kita telaah lebih dalam, hal ini akibat kesalahan tata kelola kapitalisme neoliberal yang memang semestinya diganti. Migas adalah kekayaan milik rakyat yang seharusnya hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Tidak boleh negara mengambil alih pengelolaan harta tersebut, lalu menjualnya kepada rakyat. Apalagi menyerahkan kepada swasta dan menyerahkan sepenuhnya terkait harga jualnya kepada masyarakat.
Seharusnya, yang dilakukan negara adalah mengelola kekayaan tersebut sebagai wakil dari rakyat. Kalaupun negara ingin menetapkan harga pada BBM, seharusnya harga tersebut hanya sebagai pengganti biaya produksi, bukan menjual untuk mendapatkan keuntungan dari rakyat.
Terlebih sumber Migas di Indonesia snagat melimpah, maka jika dikelola sesuai ketentuan Islam, tentu sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Wallahu a;lam bi ash showab.