Pejabat Publik Bersilaturahmi Politik, untuk Keadaan yang Lebih Baik?




Oleh : Ni’mah Fadeli 
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Idul Fitri yang identik sebagai momen silahturahmi menjadi pilihan sejumlah pejabat publik melakukan safari silahturahmi. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto setelah sholat Idul Fitri langsung bersilahturahmi ke Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Yogyakarta setelah itu lanjut bersilahturahmi ke kediaman Megawati Soekarnoputri dan setelahnya terbang ke Jawa Timur untuk bersilahturahmi dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan sejumlah ulama. Sementara Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan melakukan safari silahturahmi dalam bentuk lain yaitu mengadakan mudik gratis dan menggelar shalat Ied berskala besar di Jakarta Internasional Stadium, Jakarta Utara.

Hal serupa juga dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir yang menghadiri acara mudik gratis Partai Golkar dan mudik gratis BUMN serta beberapa kali hadir di acara TV swasta. Analis politik yang merupakan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Iman menilai fenomena para pejabat publik tersebut melakukan upaya yang berkaitan dengan persiapan Pilpres 2024 dan apa yang mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai kerja politik. Momentum lebaran adalah saat tepat melakukan cicilan kerja politik untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. (Tirto.id, 9/05/2022).

Sejumlah pejabat publik yang saat ini aktif memang akan tampil meramaikan pilpres kurang lebih dua tahun mendatang. Agenda pilpres yang merupakan perhelatan agung di negeri ini tentu membutuhkan sejumlah persiapan matang dan hal itu telah dilakukan sejumlah nama di atas guna mencari dukungan demi membangun citra yang positif di mata masyarakat termasuk dengan melakukan sejumlah silahturahmi politik dan adalah hal yang lumrah dalam demokrasi untuk memanfatkan posisi dan jabatan dalam mendulang dukungan.

Sejumlah janji manis akan ditebar para calon penguasa dan rakyat seakan terbius mendengarnya. Aneka keluhan rakyat didengarkan dan ditindak lanjuti dalam masa kampanye untuk kemudian terbang meluap entah kemana ketika masa kampanye usai dan penguasa baru terpilih. Keadaan demikian terus berulang. Hanya berganti nama penguasa dan kepemimpinan namun situasi yang terjadi tak kunjung mengalami perubahan.

Demokrasi sekuler dalam sistem kapitalis saat ini memang menguasai bumi. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitu slogannya. Namun sejauh ini apakah dapat kita rasakan kemaslahatannya? Bukankah kesulitan demi kesulitan hidup yang semakin hari rakyat rasakan? Sementara para pejabatnya sibuk bersafari politik baik dengan sesama pejabat maupun dengan pemilik cuan yang memberikan suntikan modal demi kemudahan kepentingan yang mereka inginkan. Pemimpin yang dipilih rakyat hanya dapat mengkhianati janji padahal janji adalah utang yang harus ditunaikan. Begitulah jadinya ketika pemimpin menganggap agama hanya bersifat ritual dan tidak disertakan dalam kepemimpinan.

Dalam Islam, kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting. Pemimpin dalam Islam memiliki syarat yang mutlak, 1) muslim, 2) laki-laki, 3) baligh, 4) berakal, 5) adil, 6) merdeka dan 7) mampu. Dalam As Siyasah Asy-Syar’iyah, Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar, (yakni) kuat (mampu) dan amanah.” Pemimpin adalah pengemban amanah dari rakyat tentu tidak dibutuhkan kemampuan hanya menebar pesona dan janji manis kepada rakyat namun tanggung jawab besar yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak. Dia juga harus mampu dalam arti merdeka tanpa tersandera kepentingan partai, golongan atau pemilik cuan.

Mengurus rakyat adalah esensi kepemimpinan Islam. Pemimpin akan berupaya semaksimal mungkin melakukan berbagai cara halal demi mensejahterakan rakyat, senantiasa menghadirkan hal-hal terbaik untuk rakyat. Tanpa tebar pesona ataupun janji manis namun bekerja sepenuh hati karena menyadari bahwa jabatan adalah tanggung jawab besar di hadapan Al Haq, Yang Maha Benar, Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Kepemimpinan dengan cara Islam tentu hanya akan terwujud ketika sistem Islam telah menggantikan sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dan kehidupan dan hanya menganggap agama sebagai ritual belaka. Ketika sistem Islam telah diterapkan maka hanya akan ditemui pemimpin amanah yang bukan sekedar membangun citra baik di media. Insyaallah keberkahan juga akan selalu menyertai karena setiap langkah yang dilakukan penguasa negara senantiasa bersandar pada hukum dari Allah, Al Hakim, Sang Maha Bijaksana.

Wallahu a’lam bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak