Oleh : Ummu Khielba
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Budaya mudik bukan hanya sebagai tradisi semata, namun menjadi ajang aktivitas silaturahmi dengan keluarga, terlebih lagi pandemi selama tiga tahun kemaren menyisakan rindu kampung halaman, walau kondisi belum sepenuhnya endemi.
Mudik di tengah kebutuhan primer yang terus naik bahkan terus menyasar kebutuhan sekunder menjadikan sebagian orang tidak bisa mudik. Miris, kekayaan alam melimpah hanya dinikmati segelintir orang, lagi-lagi rakyat menelan pil pahit dengan kebijakan saat ini yang lebih pro korporasi kapitalis.
Jakarta, Kompas.com 9/12/21, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81% atau setara 29,3 juta penduduk.
Upaya pemerintah membantu mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin melalui bantuan-bantuan seperti Kartu Sembako, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, dan lain-lain tampak hanya bagus di atas kertas. Solusi ini sama halnya mengatasi masalah dengan masalah lantaran tidak fokus pada akar permasalahannya.
Republik Indonesia dianugerahi sumber daya alam (SDA) yang amat melimpah terutama di sektor pertambangan, energi, dan kekayaan alam di sektor pertanian. Berbagai "harta karun" yang dimiliki Indonesia nilainya bahkan mencapai ribuan triliun rupiah. Berbagai komoditas yang dimiliki Indonesia ini menjadi andalan ekspor.
Seharusnya kesejahteraan mudah didapat oleh rakyat dengan sukacita namun lagi-lagi fenomena kemiskinan merajalela bahkan akut menambah potret kehidupan mayoritas manusia.
Kekayaan alam yang melimpah menjadi jalan legalisasi dari penguasa oligarki untuk pemilik modal korporasi dalam menguasai aset-aset publik dengan model privatisasi kebijakan ekonomi yang diserahkan pengelalaan dan kepemilikannya dan negara hanya sebagai fasilitator dan regulator.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Mudik setahun sekali menjadi tradisi yang ditunggu-tunggu, namun diikuti juga dengan naiknya harga pangan, BBM ikut naik juga bahkan tiket perjalanan yang melambung. Hanya rakyat yang berkecukupan saja yang bisa membeli selebihnya gigit jari.
Masyarakat Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang bertanggungjawab dalam kepengurusan rakyatnya, pemimpin yang memenuhi hak-hak rakyatnya, pemimpin yang berorientasi dunia untuk akhiratnya. Pemimpin yang kuat dan sadar akan kepemimpinannya hanya ada pada sistem yang shahih dan memiliki seperangkat aturan yang mampu mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.
Potret pemimpin ini hanya ada dalam tatanan kepemimpinan dalam sistem islam yang menerapkan seperangkat aturan Allah SWT dalam pemerintahannya. Dengan demikian, tidak hanya soal kemiskinan yang akan tuntas terselesaikan, bahkan umat akan kembali kepada fitrah sebagai umat terbaik yang penuh rasa hangat dalam pelukan persaudaraan dan persatuan.
Wallahu A'lam Bishowab