Oleh: Kholisotut Tahlia
Bulan Ramadhan pada tahun ini, sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya Israel melancarkan serangan atas Palestina. Sedikitnya 42 orang warga Palestina terluka dalam serangan oleh pasukan polisi Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur pada Jumat, 29 April 2022. Selama dua minggu terakhir, lebih dari 250 warga Palestina telah terluka dalam serangan oleh polisi Israel di Al Aqsa. (dunia.tempo.co/29/04/22).
Lebih dari 74 tahun sejak pendudukan Israel atas Palestina di tahun 1948, ratusan bahkan jutaan nyawa Palestina telah melayang. Tidak terhitung jumlah korban luka-luka dan berbagai penderitaan yang diciptakan akibat pendudukan Israel di tanah Palestina. Selama berpuluh tahun Israel melakukan pencaplokan wilayah Palestina, mereka telah melakukan berbagai kejahatan perang. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional, memulai penyelidikan terkait kejahatan perang Israel di wilayah Palestina. Sebuah fakta menunjukan ada dasar untuk meyakini bahwa dalam konteks pendudukan Israel di tepi barat, pejabat Israel telah melakukan kejahatan perang. (suakaonline.com).
Penderitaan Palestina adalah penderitaan bangsa yang dijajah. Israel adalah penjajah Palestina, sebagaimana sejarah menunjukkan bahwa kedatangan mereka pada awal mulanya adalah atas bantuan Inggris yang menduduki Palestina. Pada 1948 Israel memiliki jumlah penduduk 650.000 jiwa, dan pada tahun 2000 jumlah itu melonjak fantastis mencapai hampir 5 juta jiwa dengan menguasai 85% tanah Palestina. Proses perluasan wilayah itu dicapai dengan pengusiran dan serangan militer kepada warga Palestina termasuk warga sipilnya.
Apa yang digaungkan oleh PBB tentang mewujudkan perdamaian dunia adalah bualan semata. OKI dan pemimpin-pemimpin negara muslim hanya mampu mengecam yang mana kecaman jelas-jelas tidak memberikan pengaruh apa-apa, segores luka lecet pun tidak bagi para penjajah Israel. Lantas apa yang berguna dari sebuah bahkan jutaan kecaman yang terus dilakukan. Sejak tahun 2020 negara-negara Arab telah menyepakati normalisasi hubungan dengan Israel. Terkini Turki turut serta menyepakati normalisasi di tahun 2022. Keputusan negara-negara muslim ini tentu semakin menjauhkan angan kemerdekaan bagi Palestina.
Konflik Palestina-Israel tidak bisa dilepaskan dari isu agama. Kuatnya solidaritas Israel untuk melakukan pencaplokan besar-besaran karena spirit keyakinan Yahudi yang mereka yakini. Bagi Palestina, bertahan di tanah mereka dan mempertahankan masjidil Aqsa juga merupakan manifestasi dari keyakinan Islam mereka. Lantas, atas alasan apa muslim yang lain bersikap pasif dan enggan turut andil dalam pembelaan terhadap Palestina?
Mengakhiri penderitaan Palestina bukanlah hal mustahil selama upaya yang dilakukan memang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuan yang ingin diraih adalah kemerdekaan dari penjajah, tentu tidak ada upaya yang mungkin dicapai kecuali mengusir penjajahan. Bukan sekedar kecaman. Israel tidak mengerti bahasa lisan, mereka hanya memahami bahasa perang, maka tidak ada cara untuk menghentikan mereka kecuali dengan perang.
Palestina membutuhkan persatuan umat Islam dan militernya untuk mengusir penjajah Israel. Persatuan dan mobilisasi pasukan mustahil terwujud jika umat belum memiliki pemimpin yang satu yang menerapkan syariah Islam. Selama mereka masih tetap terpecah dalam sekat nasionalisme selama itu pula ikatan aqidah tidak mampu terjalin kuat. Ikatan kebangsaan ini yang justru mencegah persatuan mereka dan menghalangi mereka mewujudkan solidaritas berdasar keimanan.
Umat harus melepas identitas kebangsaan mereka dan menggantinya dengan identitas aqidah Islam. Mereka harus bersatu dalam naungan 1 negara dan menerapkan seluruh syariah Allah. Mereka harus menjadikan Aqidah sebagai landasan perbuatan dan ridlo Allah sebagai tujuan. Dorongan inilah yang akan mampu melahirkan political will pada penguasa untuk mengerahkan pasukan menyelamatkan Palestina, bumi Allah yang diberkati, dari penjajahan.