Menelusuri Keadilan Dalam Konsep Restorative Justice!



Oleh : Sindy Utami

40 Terlapor Bebas, Warga Damai?

Setelah ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka 40 Petani di Mukomuko akhirnya dibebaskan dengan menempuh jalur restorative justice. Pelapor yakni PT.Daria Dharma Pratama (DDP), dan terlapor 40 orang warga sepakat damai.

Hal tersebut disampaikan 157 Advokat dari 17 LBH yang diwakili Koordinator Reforma Agraria, Akar Foundation, Zelig Ilham Hamka, S.H saat mendampingi 40 anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) keluar dari Polres Mukomuko.

“Kami sangat mengapresiasi langkah Kepolisian Resort Mukomuko menyelesaikan pekara ini melalui jalur restorative justice, dan harapannya memang jalur restorative justice bisa menguntungkan semua pihak dalam artian 40 orang itu bisa berkumpul lagi dengan keluarga mereka karena hampir 1 minggu mereka berpisah dengan keluarga. Dan sekalilagi kami ucapkan kepada Pak Kapolres terhadap langkah yang diambil,” ungkapnya, Senin (23 Mei 2022 infonegri.id )

*Menyisir Keadilan Melalui Restorative Justice!*

Kapolda Bengkulu menjadi menjadi percontohan daerah yang mendapat apresiasi dari kompolnas karena membebaskan 40 petani. Perkara ini berawal dari Objek agraria yang menjadi sumber kompetisi hak dalam kasus ini pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat Malin Deman. Wilayah tersebut memiliki fungsi sosial dan budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam Padi, Kopi, Jengkol, dan tanaman komoditi pangan lainnya.

Pada tahun 1995 wilayah tersebut dialihkan menjadi lahan perkebunan dengan komoditi Kakao dan Kelapa Hibrida melalui konsesi HGU kepada PT. Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1889 Ha. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditi Kakao seluas 350 Ha dan Kelapa Hibrida seluas 14 Ha di atas lahan konsesi selama 2 tahun.

Sehingga setelah 2 tahun tersebut (Tahun 1997) pihak perusahaan tidak mengelola lahannya, sebagian besar warga sekitar beserta dengan warga yang belum mendapatkan ganti rugi dari PT.BBS mulai menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS tersebut.

Pada Tahun 2005, lahan HGU terlantar PT. BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diklaim oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT.DDP dan PT. BBS.

Bermodalkan klaim tersebut, PT. DDP mulai melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS dengan melakukan penanaman komoditi sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.

Menyikapi hal demikian, beberapa masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS memilih bertahan di tengah berbagai ancaman dan ketidakamanan dalam pengelolaan lahan garapannya.

Sejak Tahun 2012 hingga saat ini, ragam upaya seperti pengaduan ke aparat kepolisian, pemerintah kabupaten dan provinsi, serta perwakilan rakyat di Kabupaten Mukomuko telah ditempuh oleh masyarakat setempat dalam memperjuangkan kepastian hak atas lahan garapan mereka. Namun, semua upaya yang telah dilakukan tersebut tidak berujung pada pengakuan dan perlindungan hak yang diperjuangkan.

15 Tahun masyarakat yang menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS harus dihadapkan dengan konflik, hingga Tahun 2020 masyarakat penggarap memilih untuk membentuk kelompok perjuangan yang dinamakan PPPBS.

Pada Bulan Agustus Tahun 2021, PPPBS melalui kebijakan Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria mengajukan usulan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan subjek 187 orang masyarakat dan objek lahan usulan seluas 603,87 Ha kepada Bupati Mukomuko, Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Mukomuko, Gubernur Bengkulu, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu, dan Kementerian ATR/BPN. Hingga saat ini usulan dari anggota PPPBS tersebut masih menunggu untuk ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang.

Pada Tanggal 18 Maret 2022, Anggota PPPBS mendapatkan informasi bahwa ada 60 orang personil gabungan Brimob dan Kepolisian setempat dengan menggunakan 6 mobil untuk melakukan pengawalan terhadap PT. DDP dalam menjalankan aktivitas perkebunannya.

Setelah masuknya aparat kepolisian tersebut, terjadi pencurian buah sawit masyarakat, pembakaran pondok masyarakat, dan penangkapan masyarakat yang dilakukan oleh pihak PT. DDP dengan pengawalan aparat kepolisian.

Anggota PPPBS yang menjadi korban dari tindakan represif perusahaan dan aparat kepolisian pencurian buah sawit pada 18-21 Maret 2022, lahan kelola anggota PPPBS: Baihaki (51) Harmoko (37) Abu Tolib (30) Edi Supri (40) Rahmatsidi (39) M. Zul (38).

Tidak sebatas itu dihari yang sama pada 18-21 Maret 2022, tindakan represif perusahaan dan aparat kepolisian, diduga juga pembakaran pondok di lahan kelola milik anggota PPPBS atas nama Suharto (52) Irawan (42) Khairul Nas (52) Ramli (48) dan Adnan (60).

Pada hari selanjutnya setelah ada korban atas dugaan pencurian buah sawit dan pembakaran pondok, Selasa 22 Maret 2022 juga terjadi penangkapan dan pemukulan terhadap warga yakni: Almazni (45) Sajibun (31) saat pemeriksaan oleh aparat kepolisian.

Pembakaran juga dilakukan oleh pihak PT.DDP dengan pengawalan aparat kepolisian terhadap 2 posko PPPBS yang dijadikan tempat berkumpulnya anggota. Kemudian, dalam penangkapan terhadap Almazni (45) dan Sajibun (31) juga terdapat beberapa proses yang inprosedural dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian diantaranya: proses penangkapan yang dilakukan tanpa dengan dugaan pelanggaran dan/atau tindak pidana yang dilakukan oleh keduanya, penggeledahan-penyitaan dan pemeriksaan ponsel kedua korban tanpa izin atau kelengkapan surat, pemeriksaan di Kantor Kepolisan Sektor Mukomuko Selatan yang disertai dengan tindakan pemukulan terhadap Sajibun (31), dan penggabungan laki-laki dan perempuan dalam 1 ruang pengamanan atau penahanan.

Meskipun 2 anggota PPPBS yang ditangkap oleh aparat kepolisian dan diamankan di Posek Mukomuko Selatan tersebut pada akhirnya dikeluarkan pada Tanggal 23 Maret 2022, namun tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian tidaklah dapat didiamkan dan tetap harus ditindaklanjuti.

Keterangan dari anggota PPPBS, bahwa setiap masyarakat yang memiliki lahan kelola di area HGU terlantar PT. BBS akan diamankan oleh aparat kepolisian. Dan, patut diduga upaya penangkapan, pencurian buah sawit masyarakat, dan pembakaran pondok masyarakat masih akan terus dilakukan oleh PT. DDP yang dikawal oleh aparat kepolisian.

Sebagai komponen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kepolisian memiliki tanggung jawab untuk memastikan terpeliharanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat. Namun, dalam kasus ini terjadi disparitas pada aparat kepolisian dalam melihat dan menindaklanjuti konflik yang terjadi di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko.

Kedatangan pihak kepolisian ke dalam area konflik secara besar-besaran telah berdampak pada kecemasan dan ketakutan yang berlebih di dalam masyarakat. Stigma polisi yang akrab dengan kekerasan menimbulkan hilangnya rasa aman bagi masyarakat dan tentu saja bertentangan dengan komitmen negara dalam hal melindungi, menghormati dan juga memenuhi hak setiap masyarakat.

Dalam hal ini, kepolisian abai untuk memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi masyarakat yang secara jelas terdapat di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 30 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Kemudian, aktivitas penangkapan terhadap masyarakat yang dilakukan dan berujung pada penggunaan-penggunaan pendekatan kekerasan yang acap kali dilakukan kepolisian tentu juga sangat bertentangan secara konstitusional, karena setiap warga negara memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan juga bebas dari bentuk-bentuk penyiksaan yang tertera di dalam ratifikasi ICCPR (UU Nomor 12 Tahun 2005) juncto pengesahan atas Convention Againts Torture (CAT) konvensi menolak kekerasan, serta secara jelas dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 28 G.

Penggunaan kekerasan yang berlebihan serta penangkapan tanpa didasarkan pada alat bukti yang kuat terhadap anggota PPPBS sangat bertentangan dengan peraturan kepolisian secara internal, yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana dalam Perkap ini menyatakan secara eksplisit terkait pendekatan-pendakatan kepolisian yang harusnya berlandaskan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam menyelenggarakan setiap tugas dan fungsinya.

Namun 40 petani yang awalnya berubah status menjadi tersangka dengan tuduhan pasal 363 KUHP tentang pencurian bersama-sama dan hukuman paling lama 7 tahun kini telah dibebaskan dengan menempuh jalur Restorative Justice. Restorative Justice atau Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.

Prinsip utama dalam keadilan restorative adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. 

Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020.

Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.

Sampai di sini tentu dapat kita pahami bahwa dengan dibebaskannya 40 petani bukanlah penyelesaian yang tuntas. Sebab ada konsekuensi pemulihan keadaan semula yang dapat diartikan sebagai denda bagi petani. Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula demikianlah peribahasa yang kerap kali kita dengar ketika ada kemalangan yang hadir saat belum usai perkara dituntaskan. Mengapa tanggung jawab denda kemungkinan besar dipikul petani? Sebab sejak awal laporan di kepolisian 40 petani berstatus terduga yang naik status menjadi tersangka. Jadi, dalam hal ini diarus utamakan pelakunya adalah petani dan korporasi sebagai korban.

Sehingga keadilan restoratif dengan melalui mediasi di luar pengadilan semacam ini tidak menyelesaikan konflik agraria yang ada di wilayah tersebut. Melainkan dengan konsep tersebut dicitrakan keberhasilan sebuah lembaga dalam menyelesaikan perkara dengan menempuh Restorative Justice yang sebenarnya tidak berpengaruh besar bagi penyelesaian konflik itu sendiri. 

Penyelesaian Konflik Agraria Secara Tuntas

Penyebab ketimpangan antara masyarakat dengan korporasi yang berkait erat dengan pejabat adalah ketidakjelasan pengaturan kepemilikan suatu lahan dan inkonsistensi dalam menghidupkan lahan agar tetap produktif sepanjang tahun.

Sehingga banyak terjadi ribuan hektar tanah kepemilikan korporasi terbengkalai puluhan tahun sementara masyarakat di sekitarnya hanya memiliki sepetak dua petak lahan yang hasil produksinya belum mampu mendongkrak perekonomian apalagi menggerakkan roda pasar baik secara global maupun nasional. Padahal, jika lahan yang terbengkalai ini produktif atau setidaknya dimanfaatkan maka ada pergerakan alat tukar di sana yang memungkinkan perekonomian membaik. 

Namun, hal ini tidak akan terjadi dalam sistem kepemilikan individu (property right) secara mutlak yang dipegang teguh oleh pengemban ilmu kapitalisme. Dimana hak individu adalah seluas-luasnya dan memiliki kebebasan tanpa batas sebab aturan yang menjadi hukum pun dapat dengan mudah dilalui dengan 'materi' yang ada dalam genggamannya. Maka dari itu wajar, ketika terjadi konflik agraria maka masyarakat tidak hanya berhadapan dengan korporasi melainkan harus pula berdiri di depan senjata. Sebab bagi penguasa dalam sistem kappitalisme yang mengandalkan manfaat keuntungan materi sebagai landasan kebijakan, bagi mereka korporasi mampu membeli keadilan dalam sistem ini, sementara hak rakyat tidak mengundang profit jika diperjuangkan. Sehingga jelas keberpihakan mereka pada siapa saja yang bisa menghasilkan profit atau keuntungan materi (uang).

Berbeda dengan sistem Islam. Pada masa pemerintahan Islam juga pernah terjadi konflik kepemilikan lahan antara penguasa dengan warganya. Kisah ini dapat kita telusuri, dilansir dari akurat.co  Semasa kepemimpinan Islam diemban oleh Khalifah Umar bin Khattab, sahabat Amr bin Ash mendapat amanah untuk menjadi gubernur Mesir.

Berkat jabatan itulah Amr bin Ash kemudian menempati sebuah istana megah yang di depannya terdapat sebuah gubuk reyot dan memperlihatkan suatu ketimpangan sosial.

Melihat gubuk tersebut, Amr bin Ash lantas mencari tahu siapa pemilik tempat tersebut. Akhirnya, ia mendapat informasi bahwa pemilik gubuk itu seorang lelaki tua Yahudi.

Karena faktor keindahan dan pemiliknya adalah Yahudi, Amr bin Ash berniat menggusur gubuk tersebut untuk dijadikan sebuah masjid yang megah agar sebanding dengan istananya.

Lelaki tua Yahudi itu pun dipanggil ke istana untuk menghadap Amr bin Ash.

Wahai engkau, berapa harga jual tanah dan gubukmu? Aku ingin membangun masjid di atasnya, tanya Amr bin Ash kepada lelaki Yahudi tersebut.

Tuan, saya tidak akan menjalnya! tegas lelaki Yahudi.

Kalau begitu aku akan bayar tiga kali lipat dari harga aslinya, desak Amr bin Ash.

Tidak!

Ya sudah, lima kali lipat!

Lelaki tua Yahudi itu tetap bersikukuh untuk tidak menjual tanah dan gubuk hasil perjuangannya.

Setelah lelaki tua Yahudi itu pulang, Amr bin Ash secara sepihak menggusur gubuk derita tersebut. Lelaki Yahudi pun tidak mampu berbuat apa-apa karena keterbatasan tenaga dan kekuasaan.

Alhasil, ia mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab, atasan Amr bin Ash yang berada di Madinah. Perjalanan jauh lelaki tua Yahudi itu pun ditempuhnya.

Sesampainya di hadapan Umar bin Khattab, lelaki tua itu sedikit ketakutan karena wibawa khalifah. Dengan keberaniannya ia mencoba menceritakan betapa berat perjuangannya untuk membangun gubuk tersebut. Namun tidak disangka, Amr bin Ash dengan tidak adil menggusur hasil kerja kerasnya tersebut.

Mendengar penjelasan lelaki tua itu, Khalifah Umar bin Khattab langsung naik pitam.

Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan, kata Umar dengan nada marah.

Selepas itu, Umar meminta tolong pada lelaki tua itu untuk mencari tulang bekas di dalam tumpukan sampah. Lelaki tua yang tidak tahu maksudnya hanya menuruti saja perintah Sang Khalifah.

Setelah tulang itu didapat, Umar lantas menulis huruf alif lalu dipalang di tengah-tengahnya.

Lelaki tua yang heran itu pun bertanya, Wahai tuan, saya datang kemari untuk menuntut keadilan, namun bukan keadilan yang aku dapatkan melainkan sepotong tulang yang tak berharga ini. Bukankah ini sebuah penghinaan atas diri saya?”

Khalifah Umar pun meyakinkan lelaki itu hingga ia bersedia menyerahkannya kepada Amr bin Ash.

Lelaki tua Yahudi itu kemudian pulang ke Mesir dan langsung memberikan tulang dari Umar bin Khattab kepada Amr bin Ash.

Betapa terkejutnya Amr bin Ash saat melihat tulang itu. Seketika itu pula Amr bin Ash meminta merobohkan masjid yang sudah hampir berdiri.

Akan tetapi, lelaki tua yang penasaran itu segera mencegahnya.

Sebentar tuan, mengapa engkau ingin merobohkan masjid itu gara-gara sepotong tulang? tanya lelaki Yahudi.

Amr bin Ash menjawab, Wahai engkau, tulang ini berisi ancaman dari Khalifah Umar agar aku selalu ingat. Siapa pun engkau, betapa pun tingginya pangkat dan kekuasaan, suatu saat nanti kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah. Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang lehermu.”

Mendengar penjelasan Amr bin Ash, lelaki tua Yahudi itu pun termenung serta mengagumi betapa bijak dan adillnya Khalifah Umar bin Khattab.

Kembali ke konflik agraria yang dihadapi negeri saat ini. Islam sebagai agama yang mengatur memiliki aturan lengkap dan paripurna politik dan spiritual, tidak hanya rigid dalam perubahannya namun tidak boleh berubah dengan alasan yang klise sebab landasan keadilan nya bertumpu pada Al Qur'an dan Sunnah. Selain mengatur perihal ibadah, Islam juga mengatur soal kepemilikan tanah. Dengan mengharuskan seluruh lahan yang berada di wilayah negara adalah produktif. Sehingga jika terbengkalai atau ditinggalkan lebih dari dua tahun tanah itu menjadi milik negara dan akan diperuntukkan bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan dengan tujuan agar mempu menjadikan lahan tersebut produktif sehingga mampu menggerakkan roda ekonomi sekaligus menekan angka pengangguran. Oleh sebab itu akan sangat minim terjadi konflik agraria di dalam sistem ini.

Wallahu'Alam bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak