Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Idul Fitri, sangat identik dengan aktivitas saling berkunjung, baik dengan sesame kerabat atau bukan. Umumnya, masyarakat menyebutnya “silaturahmi”. Sebagian melakukan karena menganggapnya sebagai bagian dari tradisi hari raya. Sebagian lainnya meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari menyambung tali silaturahmi yang akan membukakan pintu-pintu rezeki dan memanjangkan usia.
Silaturahmi atau silaturahim (صِلَةُ الرَّحِمِ/shilah ar-rahim) menurut bahasa berasal dari kata “shilah” dan “ar-rahim”. Shilah artinya hubungan, dan ar-rahim—bentuk jamaknya al-arham—berarti rahim dan kerabat. Kata “arham” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh kali dengan makna “rahim” dan lima kali dengan makna “kerabat”. Oleh karena itu, “silaturahmi” secara bahasa adalah ‘hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang terkait melalui rahim’.
Allah Swt. telah memerintahkan kaum muslim untuk menjalin hubungan silaturahmi dan berbuat baik terhadap kerabat secara keseluruhan. Kerabat di sini ada dua macam.
Pertama, kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Mereka terdiri dari dua kelompok, yakni ashabul furudh (orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan) dan al-‘ashabah (mereka yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dari warisan, tapi syariat menyatakan mereka mengambil sisa dari harta warisan).
Kedua, dzawi al-arham, yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan bagian warisan dan bukan pula ‘ashabah. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: Mereka ini (dzawil arham), berjumlah sepuluh orang yaitu: (1) paman (saudara lelaki ibu); (2) bibi (saudara perempuan ibu); (3) kakek dari pihak ibu; (4) anak lelaki dari anak perempuan; (5) anak lelaki dari saudara perempuan; (6) anak perempuan dari saudara laki-laki; (7) anak perempuan dari paman (saudara lelaki bapak); (8) bibi (saudara perempuan bapak); (9) paman dari ibu; (10) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; serta siapa saja yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam)
Adapun untuk mereka yang tidak ada hubungan kerabat dengan kita, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk dalam menjalankan perintah bersilaturahmi. Walhasil, pahalanya pun tidak sama dengan pahala bersilaturahmi. Aktivitas kebaikan tersebut juga tidak akan memanjangkan umur dan melapangkan rezeki karena tidak termasuk silaturahmi.
Sekalipun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak perlu dilakukan. Berbuat baik kepada sesama muslim yang bukan kerabat termasuk ke dalam aktivitas shilah ukhuwah (menghubungkan tali persaudaraan sesama muslim) yang juga bagian dari aktivitas mulia yang diperintahkan Islam. Maka, moment idul fitri adalah moment yang baik untuk bisa melakukan silaturrahmi maupun silah ukhuwah, tentu dengan tetap memperhatikan hal – hal yang ditetapkan oleh syara’, misalnya tidak ada aktivitas kholwat, tidak ada aktivitas ihktilat, tidak berjamu dengan makanan atau minuman haram, tidak menjadi ajang ghibah dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bi ash showab.