Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Silaturrahmi adalah istilah yang tidak asing bagi kaum muslimin, khususnya di moment idul fitri seperti saat ini. Silaturahmi atau silaturahim (صِلَةُ الرَّحِمِ/shilah ar-rahim) menurut bahasa berasal dari kata “shilah” dan “ar-rahim”. Shilah artinya hubungan, dan ar-rahim—bentuk jamaknya al-arham—berarti rahim dan kerabat.
Kata “arham” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh kali dengan makna “rahim” dan lima kali dengan makna “kerabat”. Oleh karena itu, “silaturahmi” secara bahasa adalah ‘hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang terkait melalui rahim’.
Allah Swt. dan Rasulullah ﷺ telah memerintahkan menjalin silaturahmi. Allah Taala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An–Nahl: 90)
Imam al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur sanad Hariq al-Muharibi bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tangan orang yang memberi (nafkah) itu tinggi (kedudukannya). Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian saudara perempuanmu, kemudian saudara laki lakimu, kemudian yang dekat denganmu dan yang dekat denganmu.”
Lalu, siapakah kerabat yang Allah maksud dalam ayat di atas?
Pertama, kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Mereka terdiri dari dua kelompok, yakni ashabul furudh (orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan) dan al-‘ashabah (mereka yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dari warisan, tapi syariat menyatakan mereka mengambil sisa dari harta warisan).
Kedua, dzawi al-arham, yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan bagian warisan dan bukan pula ‘ashabah. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: Mereka ini (dzawil arham), berjumlah sepuluh orang yaitu: (1) paman (saudara lelaki ibu); (2) bibi (saudara perempuan ibu); (3) kakek dari pihak ibu; (4) anak lelaki dari anak perempuan; (5) anak lelaki dari saudara perempuan; (6) anak perempuan dari saudara laki-laki; (7) anak perempuan dari paman (saudara lelaki bapak); (8) bibi (saudara perempuan bapak); (9) paman dari ibu; (10) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; serta siapa saja yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam)
Adapun untuk mereka yang tidak ada hubungan kerabat dengan kita, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk dalam menjalankan perintah bersilaturahmi. Walhasil, pahalanya pun tidak sama dengan pahala bersilaturahmi. Aktivitas kebaikan tersebut juga tidak akan memanjangkan umur dan melapangkan rezeki karena tidak termasuk silaturahmi.
Sekalipun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak perlu dilakukan. Berbuat baik kepada sesama muslim yang bukan kerabat termasuk ke dalam aktivitas shilah ukhuwah (menghubungkan tali persaudaraan sesama muslim) yang juga bagian dari aktivitas mulia yang diperintahkan Islam.
Adapun kepada nonmuslim yang masih ada hubungan kerabat, perintah bersilaturahmi kepada mereka masih tetap berlaku, semuanya tentu dengan batasan syariat. Sedangkan kepada nonmuslim yang tidak ada hubungan kerabat, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk silaturahmi, tetapi juga bukan termasuk aktivitas shilah ukhuwah. Sekalipun demikian, umat Islam diajarkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, termasuk nonmuslim. Tidak ada larangan bagi muslim berbuat baik, bertetangga, maupun bergaul dengan nonmuslim, selama mereka tidak mengajak kepada maksiat dan permusuhan.
Silaturahmi bisa dilakukan kapan saja, tidak harus saat hari raya. Bahkan, salah kalau ada yang memahami bahwa silaturahmi hanya dilakukan saat hari raya. Yang terpenting dipahami adalah wujud dari silaturahmi itu sendiri, yakni hubungan kekeluargaan yang tetap terjaga.
Silaturahmi bisa diwujudkan dengan membantu dan meringankan kerabat yang kesulitan. Silaturahmi juga dilakukan dengan memberikan nasihat pada keluarga dan kerabat yang melakukan keburukan atau menyimpang dari ajaran Islam. Silaturahmi bisa menjadi sarana dakwah untuk mengajak keluarga dan kerabat taat pada syariat Islam secara keseluruhan (kafah). Tentu saja dengan memilih waktu dan cara yang tepat supaya target menyampaikan kebenaran Islam tidak mengganggu suasana akrab dan menyenangkan.
Wallahua’lam bissawab.