Masalah Pelik Seputar Mudik

 



Oleh Yuli Juharini

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Setelah dua kali Idulfitri, pemerintah melarang mudik dikarenakan adanya pandemi Covid-19, maka tahun ini pemerintah sudah mengijinkan siapa saja untuk mudik. Tentu saja ada syarat yang harus dipenuhi bila ingin mudik.

Karena pandemi Covid-19 belum berakhir, maka pemerintah mewajibkan bagi siapa saja yang ingin mudik, harus sudah vaksin ketiga yaitu booster. Sementara itu, bila hanya vaksin pertama atau kedua, maka wajib menyertakan hasil negatif dari tes antigen maupun PCR (indonesiabaik.id, 28/4/2022).

Khusus mudik tahun ini, sungguh sangat luar biasa antusias sambutan dari masyarakat. Kerinduan terhadap kampung halaman, juga orang-orang tersayang akan terbayarkan karena bisa mudik.

Begitu banyaknya masyarakat yang mudik, hingga PT Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat 1,7 juta kendaraan keluar Jabodetabek sejak H-10 sampa H-1 hari raya Idulfitri 1443 Hijriyah. Jumlah ini memecahkan rekor lalu lintas tertinggi sepanjang sejarah mudik. Jumlah kendaraan naik 9,5 persen dibanding saat mudik sebelum pandemi tahun 2019 lalu (cnnindonesia.com, 9/5/2022).

Bagi orang dengan penghasilan menengah ke atas, tentu akan senang bisa mudik. Bertemu dengan orang tua, handai taulan, karib-kerabat dan lain-lain. Tapi bagaimana dengan orang yang berpenghasilan rendah? Akankah bisa ikut merasakan indahnya mudik?

Sebelum hari raya Idulfitri tiba, hampir semua harga kebutuhan pokok merambah naik, terutama minyak goreng. Harga BBM juga ikut naik. Tarif tol, tidak mau ketinggalan, ikut naik pula. Alhasil, masyarakat dengan penghasilan rendah harus mengencangkan ikat pinggang menghadapi kenaikan harga tersebut. Jangankan untuk mudik, bisa beli makan saja sudah bersyukur.

Penguasa, dalam hal ini pemerintah yang seharusnya mengurusi urusan umat dalam segala aspek kehidupan, ternyata hanya mengambil keuntungan semata dari setiap kebijakan yang diambilnya. Termasuk dalam urusan mudik.

Menjelang Idulfitri, tarif tol yang mahal, dan harga BBM yang naik, menyebabkan ongkos untuk mudik pun naik dua kali lipat dari hari-hari sebelumnya.

Mirisnya lagi, angka kecelakaan lalu lintas pada pemudik tahun ini masih tergolong tinggi. Pada periode 25 April 2022 hingga 5 Mei 2022 angka kecelakaan lalu lintas mencapai 4.107 dengan korban meninggal dunia sebanyak 568 orang. Walaupun menurut pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan kecelakaan yang terjadi pada pemudik tahun 2019 yang mencapai 4.083 dengan korban meninggal dunia sebanyak 824 orang.
(Merdeka.com, 8/5/2022)

Yang menurun jumlah korban dari kecelakaan tersebut, sementara kecelakaan lalu lintasnya bertambah.

Begitulah jika negara menerapkan sistem demokrasi kapitalis, yang dipentingkan adalah bagaimana meraup untung sebanyak-banyaknya tanpa disertai fasilitas yang memadai. Hingga terjadilah kecelakaan yang demikian banyaknya hingga menimbulkan korban jiwa.

Dalam segala urusan publik sepertinya penguasa sedang berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Semua dihargai mahal termasuk urusan mudik. Penguasa sebagai distributornya sementara rakyatnya menjadi konsumen, dan konsumen harus membayar mahal dari setiap fasilitas yang disediakan distributor dan produsen jasa.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Karena fasilitas publik dibangun dari hasil utang luar negeri yang kian hari kian bengkak dengan bunga yang tinggi.

Jadi, untuk membayar utang tersebut, semua fasilitas publik termasuk jalan tol dinaikan harganya menjelang mudik.
Seperti kita ketahui, banyak jalan tol yang ada sudah bukan milik negara lagi karena sudah dijual kepada swasta.

Bagaimana dengan negara yang menerapkan syariat Islam? Apakah ada mudik dalam negara Islam?

Istilah mudik itu sebenarnya menjalin ukhuwah dalam ikatan kekeluargaan. Dalam Islam, tentu saja hal itu tidak dilarang, bahkan sangat dianjurkan.
Rasul saw. pun pernah mudik ke Mekah setelah delapan tahun beliau meninggalkan kampung halaman menuju Madinah. Namun mudiknya Rasul dan juga para sahabat berbeda dengan kita. Mudiknya Rasul saw. dan para sahabat adalah untuk melakukan penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah). Itu terjadi pada tanggal 10 Ramadan tahun kedelapan Hijriyah.

Rasul saw. membuktikan bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Rasul saw. menghancurkan semua berhala yang ada di area sekitar Kabah sehingga tidak ada yang tersisa.
Rasul saw. dan para sahabat merayakan hari raya Idulfitri di Mekah dan memaafkan semua musuh-musuh yang dulu menentang dakwah beliau.

Setelah semua urusan selesai, maka Rasul saw. dan para sahabat kembali ke Madinah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari Muslim, Rasul saw. bersabda yang artinya: "Tidak ada lagi hijrah ke Madinah sejak kemenangan di Mekah. Yang ada niat tulus (melakukan kebajikan) disertai jihad (perjuangan mewujudkannya).”

Pada masa Umar bin Khattab menjadi seorang khalifah, maka kebijakan yang diambil sehubungan dengan mudik adalah memperbaiki infrastruktur jalan menggunakan teknologi yang dimiliki. Teknologi yang meliputi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan, hingga kendaraan. Dengan navigasi, perjalanan menjadi aman, nyaman. Jika ada masalah dalam perjalanan dapat segera ditolong oleh patroli negara khilafah. Petugas yang akan serius memperhatikan pembangunan jalan guna  meminimalisir terjadinya kecelakaan.

Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, "Jika ada seekor kambing yang terperosok lubang di Hadramaut, maka aku bertanggung jawab terhadapnya.”

Itulah yang terjadi ketika negara diatur dengan syariat Islam. Semua dilakukan oleh negara demi kemaslahatan umat. Tidak ada untung rugi. Negara tidak berbisnis dengan rakyatnya. Semua sumber kekayaan alam diolah oleh negara dibantu tenaga ahli untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada umat, termasuk di dalam membangun infrastruktur jalan agar mudik menjadi aman, nyaman dan menyenangkan.

Tidakkah kita tergerak berjuang untuk mewujudkannya?

Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak