Lonjakan Kemiskinan Akibat Naiknya Harga Kebutuhan




Penulis : Venti Budhi Hartanti, S. Pd. I



     Tidak dipungkiri lonjakkan angka kemiskinan kian hari kian meningkat. Saat ini masyarakat banyak mengeluh dengan harga sejumlah bahan kebutuhan meningkat. Sandang, pangan dan papan semua mengalami kenaikkan. Sehingga jika wajar angka kemiskinan mengalami kenaikkan. Saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan masyarakat sudah mengalami kesulitan. Bagaimana tidak sulit, dengan jumlah pendapatan yang begitu-gitu saja tapi harga kebutuhan hidup terus mengalami kenaikkan harga. Akhirnya masyarakat pun khususnya lagi para ibu-ibu yang mengelola keuangan rumah tangga harus  memutar otak untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

 Kenaikan minyak goreng, BBM, dan LPG terus-menerus mengimpit rakyat. Ditambah kenaikan PPN sebesar 11% pun makin menambah beban hidup masyarakat di tengah kebijakan yang sering kali tidak memihak mereka. Otomatis tidak hanya bahan pokok makanan yang mengalami kenaikkan harga, akan tetapi harga kebutuhan sehari-hari pun juga mengalami kenaikkan harga. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara memproyeksikan kenaikan harga pangan akan berlanjut hingga akhir Lebaran karena disrupsi rantai pasok dan naiknya biaya produksi, seperti harga pupuk. Jika harga pangan terus naik, otomatis akan meningkatkan angka kemiskinan. (CNN Indonesia, 20/4/2022).
Belum lagi kebutuhan pokok lainnya yang banyak mengalami kenaikkan harga dipasaran. Masyarakat tidak henti-hentinya mengalami penderitaan yang tidak kunjung   selesai. 

Padahal, pangan adalah kebutuhan pokok utama yang harus dipenuhi individu agar bisa hidup. Menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP), banyak dari masyarakat Indonesia yang menghabiskan lebih dari 65% pengeluarannya untuk kebutuhan makanan. Sedangkan pangsa rumah tangga dengan pengeluaran pangan yang dominan ternyata berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan suatu kota atau kabupaten

Terlebih, lonjakan harga kali ini terjadi ketika masih banyak masyarakat yang belum keluar dari terpuruknya ekonomi akibat pandemi sehingga masyarakat yang terkategori rawan miskin kini telah banyak yang berubah statusnya menjadi warga miskin.

       Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2021, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,71%. Dengan kata lain, jumlah penduduk miskin bertambah 1,72 juta orang dibandingkan periode yang sama pada 2019. Jumlah yang besar ini belum berbicara indikator kemiskinan yang masih menjadi perdebatan.

Pasalnya, BPS memberikan 12 kriteria kemiskinan yang begitu rendah. Misalnya, yang dikatakan keluarga miskin adalah yang berpenghasilan kurang dari Rp600.000 per bulan. Artinya, satu keluarga baru bisa dikatakan miskin jika makan per hari kurang dari Rp20 ribu per keluarga.

Bagaimana dengan keluarga yang berpenghasilan Rp1 juta? Jika mereka terdiri dari tiga anggota saja, yaitu anak, ayah, dan ibu, masing-masing dari mereka hanya bisa makan sehari kurang lebih Rp10 ribu. Itu pun belum memasukkan perhitungan biaya hidup lainnya, seperti tarif air, listrik, iuran BPJS, biaya pendidikan, dll. Mirisnya, keluarga seperti ini tidak terkategori miskin.

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasludin memaparkan, ada sekitar 115 juta kelas menengah terguncang dengan lonjakan harga sehingga pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan ini. Jika tidak, ledakan kemiskinan akan tidak terkendali. (Media Indonesia, 4/4/2022).

Menurut Akmal, pemerintah tidak mampu mengendalikan pasar yang kini dikuasai swasta, seperti kasus kelangkaan dan mahalnya harga migor. Pemerintah seharusnya mampu mengendalikan migor, mulai dari harga hingga ketersediaan dan distribusinya. Inilah penyebab gini rasio meningkat tajam, yakni karena individu yang menguasai pasar akan makin kaya dan rakyat miskin akan makin miskin.
Lingkaran setan kemiskinan tidak akan pernah bisa selesai dalam rantai tata kelola sistem ekonomi kapitalisme. Ini karena kebebasan kepemilikan yang diagung-agungkan oleh sistem ini telah nyata menjadi penyebab makin tingginya ketimpangan. Sistem ini menjadikan para pemilik modal bebas memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan publik.

Liberalisasi kepemilikan telah nyata menjadikan negeri penghasil CPO terbesar di dunia ini memiliki masalah dengan kelangkaan minyak sehingga rakyatnya sulit mendapatkan migor. Semua ini karena pasar migor telah dikuasai swasta. Pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk sekadar mengendalikan para mafia migor.

Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator yang kerjanya menjadi wasit pengusaha dan rakyat. Tentu, wasit akan berat sebelah tersebab kebermanfaatan pengusaha jauh lebih besar daripada rakyat yang dianggap beban (terus minta subsidi).

Negara model neoliberal memang tidak memiliki fungsi mengurusi urusan warganya karena hubungan yang terjalin antara pemerintah dan rakyatnya adalah sebatas penjual dan pembeli. Rakyat membeli sejumlah kebutuhan, pemerintah menjual sejumlah fasilitas. Walhasil, “layanan prima” harus diberikan pemerintah pada rakyat sebagai umpan balik agar sama-sama diuntungkan.

Dengan demikian, jangan pernah berharap permasalahan ekonomi, khususnya kemiskinan akan selesai dengan sistem ini karena justru sistem kapitalismelah yang dengan jelas menjadi pangkal permasalahan. Satu-satunya sistem yang sempurna dan terbukti mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinan adalah sistem ekonomi Islam.

Lantas, bagaimana Islam mengatasi kemiskinan? Pertama, memosisikan negara sebagai penanggung jawab seluruh kebutuhan warganya. Hubungan pemerintah dan rakyat adalah pelayan dan tuannya. Penguasa adalah pelayan yang siap melayani seluruh kebutuhan sang tuan (rakyat), serta melindunginya dari mara bahaya, termasuk dari mafia dagang.


Kedua, Islam telah menjamin kebutuhan primer manusia. Jangankan pangan yang merupakan pokok utama kebutuhan manusia, sandang dan papan, serta kesehatan, pendidikan, dan peradilan pun akan dijamin negara.

Maksud negara menjamin kebutuhan pokok rakyatnya bukan dengan memberikan seluruh kebutuhan, seperti makanan, rumah, dan baju secara berkala pada rakyat. Hal ini akan menyebabkan etos kerja yang buruk alias bermalas-malasan karena sudah terpenuhi semua 

Akan tetapi, maksud dari negara menjamin itu adalah dengan mewujudkan pengaturan dan mekanisme yang menyelesaikan masalah kemiskinan. Salah satunya, dengan mewajibkan setiap keluarga untuk bekerja. Jika penghasilannya tidak mencukupi dan sudah tidak ada kerabat yang bisa menafkahinya, beban tersebut jatuh pada negara. Dari sini, negara Islam akan membuat regulasi yang memudahkan seorang kepala keluarga mendapatkan pekerjaan.


Ketiga, Khilafah akan mengatur kepemilikan berdasarkan syariat sehingga sumber daya yang dibutuhkan publik tidak boleh dikuasai swasta. Negara hanya bertugas mengelolanya dan mengembalikan manfaatnya kepada umat sebagai pemilik sahnya. Distribusi kekayaan di tengah rakyat pun diurus negara, tidak seperti sistem kapitalisme yang hanya mengandalkan harga.


Keempat, negara akan menciptakan lapangan kerja yang dengan itulah kepala keluarga bisa menafkahi keluarganya. Pengelolaan mandiri terhadap seluruh sumber daya alam bisa menjadi wasilah penyerapan tenaga kerja.


Kelima, kekuatan baitulmal. Dengan melimpahnya pemasukan kas negara Khilafah, yaitu baitulmal, akan mempermudah negara dalam menjalankan program dan memberi suntikan dana pada rakyat yang membutuhkan. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang dapat memperlancar transaksi membutuhkan dana besar. Oleh karenanya, kekuatan baitulmal adalah satu kunci dalam kesuksesan perekonomian.

Inilah kemampuan Islam dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Sistem kapitalisme yang mengandalkan pajak dan utang dalam membiayai pembangunannya tidak akan mampu menerapkan poin-poin di atas.

Sistem Islam adalah sistem yang stabil. Penguasa yang menjalankannya pun amanah dan berdedikasi tinggi pada Khilafah. Khalifah dan para pejabatnya memiliki satu tujuan, yaitu mengurusi dan melindungi umat agar kesejahteraan dan ketenteraman senantiasa menyelimuti umat manusia. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak