Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita semua. Kini tinggal kita yang melakukan evaluasi, apakah target Ramadhan telah tercapai. Sangat jelas bagi kita, target apa yang telah Allah tetapkan bagi kita selepas Ramadhan, sebagaimana firmanNya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Al-Baqarah: 183)
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa tidak lain adalah agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa. Apakah takwa itu? Kata “taqwa” berasal dari kata “waqâ”, yang berarti melindungi. Maknanya, untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah Swt.. Caranya dengan menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Itulah pengertian “taqwa”. Jadi hakekat kemenangan bagi kaum muslimin seharusnya adalah terpenuhinya definisi taqwa dalam dirinya selepas Ramadhan.
Ada tiga kunci kemenangan sejati umat Islam. Pertama, memantaskan diri sebagai hamba yang kokoh keimanannya, dalam keilmuannya, dan dekat dengan Allah Swt; kedua, maksimal dalam melakukan upaya perubahan dari suatu kondisi menuju kondisi lain yang lebih baik; dan ketiga, sabar atas panjangnya perjuangan dan bahaya tipu daya musuh.
Mengapa harus memantaskan diri dari sisi keimanan dan ketakwaan? Karena kemenangan bagi umat Islam adalah karunia dari Allah. Adapun yang wajib kita lakukan adalah melakukan ikhtiar dalam perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang sebelumnya jauh dari aturan Islam, berubah menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah Swt.. Inilah perubahan menuju diterapkannya syariah Islam secara kafah. Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Perubahan itu harus diupayakan sendiri oleh umat islam, karena perubahan itu bersifat aktif. Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Al-Ra’d: 11)
Imam Al-Quthubi dalam tafsirnya menjelaskan, tentang firman Allah Taala, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ bahwa Allah Taala memberitahukan di ayat ini, bahwa Dia tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan perubahan, baik (1) dari kalangan mereka; (2) orang yang mengurus mereka; atau (3) dari salah seorang mereka dengan hubungan apapun; sebagaimana Allah mengubah keadaan orang-orang yang kalah pada perang Uhud karena sebab sikap berubah yang dilakukan oleh para pemanah, dan contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariat. Maksud ayat tersebut bukanlah berarti tidak ada siksa yang turun kepada seseorang kecuali setelah didahului oleh dosa, bahkan bisa saja musibah turun karena dosa yang lain sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika ditanya, “Apakah kita akan binasa, sedangkan di tengah-tengah kita masih banyak orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Ya, jika keburukan (kefasikan) banyak terjadi.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah), wallahu a’lam.” (Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz 9, hlm. 294)
Imam Al-Baidhawi juga menyatakan,
“Sesungguhnya Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kamu dari kesehatan dan kenikmatan sampai mereka mengubah dengan individu mereka dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk.” (Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz 3, hlm. 183).
Jadi, perubahan pada sebuah masyarakat itu bisa diusahakan dan datang dari 3 pihak: (1) Dari masyarakat tersebut (internal); (2) Pihak yang mengurus masyarakat tersebut (pemimpin internal); (3) Orang dari masyarakat tersebut dengan hubungan apapun (oknum internal).
Pihak ketiga ini adalah inisiator dan juga pelaku perubahan. Lihatlah inisiatif pasukan pemanah dalam perang Uhud, yang telah menjadikan perubahan keadaan pasukan kaum muslim dari kemenangan menjadi kekalahan. Inilah fakta perubahan, baik dari menang ke kalah maupun dari kalah ke menang.
Orang seperti mereka (pihak ketiga yang disebutkan Imam Al-Quthubi) sulit melakukan perubahan masyarakat menuju tatanan tegaknya kehidupan Islam jika tidak terdapat tiga syarat utama: (1) Merupakan kelompok yang solid dengan fikrah dan thariqah yang diadopsinya; (2) Mereka terdiri dari orang-orang yang ikhlas dan memiliki kapasitas memadai; dan (3) Mereka memiliki ikatan yang kokoh dengan ketaatan kepada pemimpinnya.
Dengan memperhatikan penafsiran di atas, perubahan yang dimaksud bisa bermakna mengubah yang buruk menjadi baik, tetapi juga bisa bermakna merawat agar anugerah yang baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita. Hal kedua inilah yang dicontohkan oleh Imam Al-Qurthubi dan Imam Al-Baidhawi di atas.
Dalam proses merubah yang baruk menjadi yang baik dan atau merawat yang baik agar tetap baik inilah yang sering kita sebut dengan dakwah. Dan di dalam perjalan dakwah inilah, meniscayaan adanya kesabaran. Bersabar menghadapi musuh dakwah yang menyalahi dan menentang dakwah adalah kunci kemenangan. Ini adalah sunnatullah. Untuk bisa bersabar kita berupaya dan berdoa agar bisa bersabar. Wallahu a’lam bi ash showab.