Korban Begal Jadi Tersangka, Salah Siapa Seharusnya?



Oleh: Ayu Susanti, S.Pd

Kejahatan semakin merajalela di negeri zamrud khatulistiwa. Perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya masih menghiasi kehidupan masyarakat saat ini. bahkan kabar yang cukup mengejutkan terjadi kembali pembegalan kepada masyarakat sekitar, namun yang menjadi pusat perhatian adalah dimana korban dijadikan sebagai tersangka. 

Kasus korban begal di Nusa Tenggara Barat (NTB) dijadikan tersangka menjadi sorotan nasional. Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turut bersuara. Sigit ingin korban begal tersebut Murtede alias Amaq Sinta (34) mendapatkan kepastian hukum. (https://news.detik.com/, 16/04/2022). 

Korban begal yang jadi tersangka, Murtede alias Amaq Santi (34) berharap bisa bebas murni sebelum persidangan. Warga Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat itu pengin hidup normal lagi. "Saya ingin bebas supaya bisa tenang dan bekerja kembali seperti biasanya," katanya di Praya, NTB, Sabtu. Dia mengatakan membunuh kawanan begal itu dalam keadaan terpaksa, karena kalau tidak melawan nyawanya akan melayang ketika diserang kawanan begal di jalan raya Desa Ganti. (https://m.jpnn.com/, 16/04/2022). 

Dari fenomena tersebut kita bisa melihat adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat. Dimana salah satunya yang menjadi korban kejahatan justru malah terpojokkan dan menjadi tersangka. Namun saat melihat kasus yang ada, warga pun dibuat bingung harus seperti apa dalam berbuat. Apakah harus memperjuangkan apa yang menjadi haknya ataukah pasrah tak mengapa jika pembegalan terjadi pada dirinya. Hal ini membuktikan jika hukum buatan manusia memang tidak bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas dan baik. hukum sanksi yang ada ternyata tidak begitu bisa menghapus dan menuntaskan kriminalitas yang terjadi di negeri ini. Pun tidak bisa memberikan efek jera bagi siapapun yang bertindak kriminal. 

Hukum sanksi yang ada saat ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan sistem hidup yang diterapkan, yakni sistem sekulerisme. Sekulerisme adalah sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan. Jadi yang membuat sebuah hukum adalah manusia. Manusia yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupannya dan membuat sendiri aturan untuk diterapkan dalam kehidupan. Namun jika kita perhatikan, saat manusia membuat hukum maka aturan yang ada akan serba lemah dan terbatas seperti sifat manusia yang memiliki keterbatasan. Oleh karena itu hukum buatan manusia tidak mampu untuk menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas. 

Berbeda halnya dengan Islam. Sebuah aturan sempurna yang Allah turunkan untuk manusia, agar manusia bisa selamat dunia dan akhirat. Dalam Islam, yang berhak membuat hukum adalah Allah, Sang Pencipta manusia yang mengetahui seluk beluk manusia dan kebutuhannya. Termasuk dalam masalah sanksi. Hukum sanksi dalam Islam akan memberikan efek jera kepada siapapun yang melakukan tindak kriminal. Termasuk akan memberikan pencegahan kepada siapapun yang akan melakukan kriminal serupa. Untuk kasus begal pun akan ditindak tegas sehingga pelaku akan jera dan kasus serupa tidak akan terulang kembali. Korban pun akan merasakan keadilan. 

Begitulah jika Islam yang dijadikan sebagai standar dalam berbuat dan diterapkan dalam kehidupan. Maka jika kita kita ingin terlepas dari berbagai persoalan, maka sudah seharusnya kita kembali kepada penerapan Islam secara kaffah. 
Wallahu’alam bi-showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak