Oleh: Hamnah B. Lin
Tengah ramai diperbincangkan netizen di media sosial. Pasalnya, belum lama ini Deddy mengundang Ragil Mahardika dan Frederik Vollert ke dalam podcast YouTubenya. Ragil Mahardika dan Frederik Vollert adalah pasangan gay yang saat ini tinggal di Jerman. Dalam video yang berdurasi sekitar satu jam tersebut, Deddy Corbuzier banyak membahas seputar kehidupan dan hasrat seksual seorang gay (sindonews, 8 /5/2022).
Hal ini berbuah pada Tagar #UnsubscribePodcastCorbuzier yang sempat menjadi top trending topic di Twitter Indonesia pada Senin sore, 9/5/2022. Konon, DC langsung kehilangan 8 juta lebih subscriber akibat konten nekatnya, mewawancara pasangan g4y tersebut.
Kritikan juga datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah Cholil Nafis yang mengomentari pihak pemberi ruang dan waktu untuk pasangan gay dan disiarkan lewat podcast di situs Youtube. Menurutnya, kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) tidak patut disiarkan hingga menjadi konsumsi publik (CNNIndonesia, 9/5/2022).
Peristiwa ini setidaknya menunjukkan nurani sebagian masyarakat Indonesia masih waras. Namun, hal ini tentu tidak cukup membuat kita tenang. Karena, propaganda kaum menyimpang ini kian hari memang kian marak dan terbuka. Bahkan, sebagian pelakunya telah berhasil eksis sebagai figur publik yang diterima sebagian masyarakat lainnya.
Keberadaan kaum eljibiti tampaknya kini bukan lagi hanya sebuah penyakit atau problem masyarakat belaka. Namun pertumbuhan yang begitu masif, adanya pengorganisasian, dan maraknya propaganda, menunjukkan bahwa eljibitiqi sudah menjadi sebuah gerakan. Bukan hanya gerakan sosial, melainkan gerakan politik yang bersifat global.
Dulu sebelum tahun 90- an keberadaan kaum pelangi ini masih sangat tertutup, karena hal ini masih dianggap sesuatu yang tabu, malu. Namun seiring pemikiran sekuler-liberal merasuk ke Indonesia hingga merangsek masuk ke pelosok-pelosok daerah lewat siaran televisi, keberadaan mereka makin dianggap lumrah dan biasa. Itu hak mereka, itu pilihan mereka. Hingga pembiaran terhadap tingkah mereka yang tidaak biasa ini dianggap hal yang biasa. Dan inilah cita-cita kaum pelangi. Intinya, mereka ingin diterima dalam kehidupan masyarakat. Hingga mampu menularkan penyakit mereka.
Mereka menggemukkan kelompoknya dengan strategi penularan. Lalu mengonsolidasi diri membentuk kekuatan, menjadi kelompok pressure yang pelan, tetapi pasti mampu membangun pengaruh di negeri ini. Setidaknya, mereka telah berhasil membangun budaya rusak yang keberadaannya mulai ditoleransi.
Sejak itulah satu demi satu negara di Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia mulai memberi pengakuan serupa. Bahkan, disahkannya pernikahan sejenis di seluruh negara bagian Amerika pada 2015 dipandang sebagai kemenangan besar bagi kaum eljibitiqi. Adapun di Indonesia, topik ini masih sebatas cita-cita yang terus diperjuangkan para aktivisnya.
Mereka berharap pada tahap selanjutnya jumlah individu, pasangan, dan keluarga eljibitiqi akan terus meningkat. Berikutnya, keberadaan mereka diterima secara publik, seperti di sekolah umum dan kantor-kantor pemerintah. Lalu mereka diizinkan berkhidmat kepada negara, dan sebagai main goal-nya, keberadaan mereka dipandang baik-baik saja.
Masyarakat Indonesia pernah dikejutkan dengan terbitnya Yogyakarta Principles pada 2006. Dokumen ini memuat 29 prinsip yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender dan dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum HAM internasional untuk mengatasi pelecehan HAM terhadap eljibitiqi.
Dokumen ini merupakan hasil konferensi Komisi para Ahli Hukum Internasional (International Service for Human Rights) dan ahli HAM seluruh dunia yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (6—9 November 2006). Konferensi ini juga didukung oleh UNHCR dan Amnesty International.
Dokumen hasil konferensi ini direkomendasi untuk diadopsi semua negara sebagai sebuah standar hukum internasional yang mengikat. Namun, sejauh ini beberapa negara masih menyatakan keberatan.
Lalu pada peringatan Hari HAM 10 Desember 2012, PBB melalui UNDP dan lembaga donor AS, USAID, mendampingi organisasi-organisasi akar rumput dan para pimpinan komunitas eljibiti di Asia meluncurkan proyek Being ElGiBiTi in Asia and The Pacific.
Proyek ini dibuat untuk melihat berbagai pengalaman yang dijalani eljibiti dari sudut pandang pengembangan dan hak asasi, termasuk soal stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi. Antara lain, menyajikan gambaran umum hak-hak eljibiti dalam kaitan secara luas dengan hukum, kebijakan pemerintah, sikap sosial budaya dan agama, kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan dan generasi muda, kesehatan dan kesejahteraan diri, urusan keluarga, media dan teknologi informasi komunikasi (TIK). Juga terkait kapasitas organisasi eljibiti.
Selanjutnya, proyek juga memprakarsai upaya-upaya edukasi dan mengembangkan kapasitas organisasi-organisasi eljibitiqi tadi untuk melibatkan diri dalam dialog kebijakan dan mobilisasi masyarakat. Juga menginisiasi dialog-dialog komunitas melalui berbagai sarana demi membangun tradisi inklusi di tengah masyarakat.
Endingnya, proyek juga memprakarsai langkah-langkah bagi UNDP dan sistem PBB, USAID, Pemerintah AS, beserta mitra kerja pembangunan lainnya, menuju pelaksanaan pembangunan yang inklusif terhadap eljibitiqi. Artinya, ada pressure politik bagi penyelenggara negara untuk melakukan langkah-langkah politik demi mengakomodasi kepentingan kaum eljibitiqi.
Setidaknya, ada delapan negara yang menjadi fokus prioritas, yaitu Cina, Filipina, Kamboja, Mongolia, Nepal, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Untuk di Indonesia, proyek ini bahkan secara khusus menelusuri situasi hak-hak eljibiti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal concern pada isu penerapan syariat Islam.
Lalu demi sukses target, mereka rekrut mitra kerja dari berbagai kalangan. Mulai dari pihak pemerintah sebagai stakeholder, perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi bantuan hukum, akademisi, para artis, dan sebagainya.
Wajar jika proyek penancapan ideologi kapitalisme, sekularisme, liberalisme ini berlangsung secara halus dan tersistematis. Di Indonesia yang mayoritas muslim, kampanye dan propaganda perilaku menyimpang bermunculan secara atraktif di berbagai kanal. Termasuk melalui medsos, film, dan karya seni, bahkan dalam dialog-dialog ilmiah sehingga akhirnya berhasil masuk dalam ranah legalisasi kebijakan berbasis isu kesetaraan gender, semacam UU TPKS.
Alhasil, kekuatan global yang mendukung keberadaan kaum pelangi ini harus juga dilawan dengan kekuatan global yang berasal dari Allah SWT. Yakni penerapan aturan Islam dalam tataran negara Islam. Jangan biarkan penyakit menular ini menghancurkan generasi dan bangsa. Karena hakikat keberadaan kaum pelangi ini adalah digunakan sebagai alat penghancur generasi Islam.
Itulah negara Khilafah Islamiyah, institusi politik Islam yang akan menyatukan semua kekuatan, mulai dari SDM dan SDA. Sekaligus siap menerapkan ideologi Islam sebagai asas dan sistem aturan dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik pemerintahan, ekonomi, moneter, pergaulan, pendidikan, hukum dan sanksi, pertahanan keamanan, termasuk hubungan internasional.
Mari raih keberkahan hidup dengan turut berjuang memahamkan umat akan kepentingan segera tegaknya khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam