Oleh: Hamnah B. Lin
Tolok ukur berfikir seseorang tidaklah bisa diukur oleh gelar akademis yang dia dapat. Sebagaimana sempat viral beberapa waktu lalu, Rektor Institut Teknologi Kalimantan atau ITK, Budi Santosa Purwokartiko, sedang menjadi sorotan akibat menyebut mahasiswi berjilbab dengan istilah manusia gurun. Ucapannya itu pun dinilai rasis karena memuat unsur SARA ( solopos.vom, 1/5/2022).
Dia merupakan alunmnus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1992. Dia kemudian meraih gelar master dan doktor dari University of Oklahoma, Amerika Serikat. Budi Santosa merupakan Guru Besar Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan bidang keahlian Data Mining, Optimasi dan Metaheuristik, Operations Research, dan Manajemen Proyek. Selain itu, dia pernah bagian dari Tim Studi Kelayakan Pendirian ITK, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Kemenristekdikti.
Serta segudang jabatan dan prestasi lain. Tinggi prestasi akademisnya nyatanya tidak bisa menjadikan seseorang cerdas dalam bersikap dan berfikir. Karena standart berfikir tidaklah ditentukan oleh status akademisnya. Inilah yang patut dipahami.
Jika standart sekulerisme yang dijadikan patokan, maka pernyataan-pernyataan rasis seperti ini akan terus banyak keluar, entah mulai dari orang yang tidak mengenyam pendidikan hingga tingkat pendidikaannya tinggi. Sekulerisme adalah pemikiran yang memisahkan agama (read: Islam) dengan kehidupan sehari-hari. Paham sekularisme mengajarkan manusia untuk percaya dan yakin akan kemampuannya. Mereka bisa hidup nyaman dan mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan agama. Pandangan ini masuk melalui sistem pendidikan di seluruh negeri, bahkan negeri muslim. Alhasil, orang berpendidikan dan memiliki pangkat akademis tinggi saja sudah cukup. Mereka tidak memerlukan agama sebagai penuntunnya. Itulah sebab, tidak heran jika ada intelektual negeri ini menganggap Islam hanya agama langit, yang tidak bisa disatukan dengan kehidupan bumi.
Jika melihat dari beberapa status rektor ITK di facebook itu memperlihatkan bahwa dia sedang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam. Ketidaksukaan atau kebencian dia terhadap Islam ataupun pakaian Islam, menunjukkan ada virus Islamofobia yang sudah menjangkitinya. Dimana isu Islamofobia kini kian menggila, dengan tujuan agar umat Islam takut terhadap ajaran agamanya sendiri, berlaku sekulerisme, hingga yang fatal dia akan menjadi delegasi penyebar Islamofobia padahal dia masih muslim, atau hingga dia murtad dari Islam. Juga membuat opini menakutkan kepada nonmnuslim tentang Islam, agar mereka jauh dari Islam dan tidak tertarik sama sekali dengan Islam.
Pernyataan dan pandangan-pandangan yang nyatanya rasis, menghina agama Islam, yang kini kian marak, adalah buah kebebasan yang terus didengungkan oleh sistem demokrasi saat ini. Dimana kebebasan ini adalah pilar berdirinya demokrasi, yakni kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan bertingkahlaku dan kebebasan kepemilikan.
Dia juga terkategori sombong karena menganggap dirinya lebih dari manusia yang lain, bahkan sombong terhadap Sang Khalik. Menganggap para intelektual jauh lebih hebat dan tidak memerlukan agama menandakan bahwa mereka menjadi angkuh. Para pemikir itu merasa hebat dengan sekolah di kampus negara AS atau Jepang yang memiliki teknologi mutakhir. Bahkan, kelihatan merendahkan yang mengambil kuliah memperdalam agama di negeri gurun (Mesir atau Arab). Kesombongan ini sebenarnya adalah sifat manusia. Mereka menganggap prestasi akademik di atas segalanya. Tanpa perlu berpikir dari mana manusia berasal, mau ke mana, dan untuk apa. Semua itu adalah bentuk dari kesombongan manusia.
Dengan jelas dan tegas Rasulullah saw. bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim). Bahkan, Allah Swt. juga memperingatkan manusia agar tidak berlaku sombong. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak akan dapat menyamai setinggi gunung-gunung.” (QS Al-Isra: 37).
Hal demikian tidak akan dijumpai dimasa pemerintahan Islam yang sejak awal berdirinya negara Islam dipimpin oleh Rasulullah saw., hingga dilanjutkan oleh para khulafaurasyidin dan para khalifah sesudahnya. Selama 13 abad Islam berhasil memimpin dunia. Dalam kurun waktu itu, Islam dengan aturannya yang sempurna berhasil melahirkan intelektual berkualitas. Bukan hanya jago dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga jago dalam ilmu agama.
Daftar tokoh pada masa kejayaan Islam beserta hasil karyanya tercatat dalam sejarah, mulai dari ahli filsafat Al Farabi sampai dengan pakar kedokteran Ibnu Sina. Dalam sejarah masa kejayaan Islam, sejak era Kekhalifahan Rasyidin hingga Kesultanan Utsmaniyah, muncul tokoh-tokoh muslim yang amat berpengaruh dan menghasilkan karya atau penemuan di masing-masing bidang keilmuannya.
Selain perpustakaan, institusi pendidikan juga tumbuh subur. Bahkan, tiga universitas tertua di dunia berdiri di masa kejayaan Islam yang terus langgeng hingga sekarang, yaitu Universitas Al-Karaouine di Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, dan Universitas Nizamiyya di Bagdad.
Berkat pendidikan dan situasi keilmuwan di masa kejayaan Islam, lahirlah sejumlah tokoh-tokoh dan ilmuwan muslim yang namanya terus dikenang hingga sekarang.
Mereka semua lahir dari sistem Islam, bukan sistem demokrasi seperti sekarang. Islam memiliki aturan sempurna, yang menyandarkan akidahnya pada Islam, bukan yang lain. Sedangkan sistem pendidikan Islamnya memiliki tujuan membentuk pribadi yang ber-syakhsiyah Islam. Mereka memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Semua pemikiran dan aktivitasnya mengikuti cara pandang Islam. Senantiasa merasa lemah tanpa bantuan Allah Swt.
Dan sistem pendidikan Islam yang melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan bertakwa ini hanya akan lahir dari sistem Islam dengan tegaknya Negara Khilafah Islamiyah. Sebuah negara berlandaskan Islam, aturan negaranya berasal dari Allah SWT Sang Khalik Sang Pengatur.
Wallahu a'lam.