Hati-hati dengan Hatimu

 


Oleh Waryati

(Aktivis Muslimah)


Saat ada seseorang berpendapat bahwa ukuran kegeniusan dan kecemerlangan berpikir hanya diukur dengan IP tinggi dan berbicara tentang hal-hal yang membumi semata, maka patut diduga orang tersebut tengah terjangkit penyakit kronis islamofobia yang tak ia sadari. Sejatinya, manusia cerdas ialah mereka yang memiliki visi misi langit. Standar berpikir maupun berbuat hanyalah berasal dari standar syari'at, yakni akidah Islam.


Generasi penerus bangsa yang beradab dan mampu bersaing di berbagai bidang ilmu hanya lahir dari manusia yang sadar siapa dirinya. Dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup dan akan ke mana setelah mati. Dengan demikian, bahasan dan pembicaraannya sudah pasti tentang kehidupan kini juga nanti, karena keduanya berhubungan erat yang tak mungkin terpisahkan. Tak hanya mengedepankan intelektual tinggi, namun juga harus memiliki kesadaran sebagai makhluk dan tanggung jawab terhadap Pencipta bumi.


Hidup tak sekadar hidup. Hidup bukan tentang mencari dunia. Ingin mendapatkan popularitas, menduduki suatu jabatan yang dicita-citakan, memiliki apa yang diinginkan, atau pun mencari kepuasan pribadi dan sebagainya. Namun lebih dari itu. Hidup adalah sebuah perjalanan yang di dalamnya mengandung pilihan dari setiap perbuatan antara yang haq dan batil, halal dan haram. Semua itu tergantung kita memilihnya. Hal terpenting yang harus disadari ialah, bahwa kehidupan kini akan menentukan kehidupan kelak, yaitu kehidupan di akhirat, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan dari perbuatan selama hidup.


Kecerdasan intelektual bukan jaminan seseorang itu mampu bersaing menjawab segala tantangan jaman, tanpa diimbangi dengan kecerdasan ruhiyah yang berlandaskan akidah Islam. Banyak manusia berintelektual tinggi namun jauh dari tuntunan agama, sehingga dalam berpikir dan berperilaku menginginkan kebebasan tiada batas. Menyampur adukkan yang haq dan batil. Mudah menstigma negatif kepada orang-orang yang taat di jalan Islam. membenturkan aturan agama sesuai dengan keinginannya dan selalu mengagungkan logika. 


Yang ada, mereka hanya akan menambah jumlah manusia sombong yang notabene justru menjadi penghancur generasi. Pintar berteori namun lemah dalam praktik. Ilmu hanya dijadikan hafalan, tetapi tak diterapkan dengan baik dan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran. Seperti inilah sekularisme membidik manusia hingga menghasilkan orang-orang pintar namun tak memiliki akhlak mulia.


Dalam pandangan Islam, manusia cerdas ialah mereka yang mampu memelihara ketaatan kepada Pencipta, yakni mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ilmu yang didapat tidak hanya dipelajari tuk mendapatkan kemanfaatan pribadi. Akan tetapi, ilmu tersebut bisa mengubahnya menjadi pribadi yang shalih, mandiri, bewawasan luas, memiliki empati kepada orang sekitar dan peka terhadap lingkungan.


Maka, ukuran kecerdasan tak hanya distandarkan dengan capaian prestasi unggul dan prestasi akademik semata. Mereka yang cedas akan senantiasa menjaga hatinya. Menyiapkan bekal tuk kehidupan kelak. Memelihara dari sifat-sifat sombong dan selalu menjadikan hidupnya bermanfaat bagi orang banyak. Selain itu, orang cerdas akan mampu menganalisa setiap isu-isu yang terjadi sekaligus memberikan solusi dari setiap problematika kehidupan dengan dasar aturan Islam.


Wallahu a'lam bissawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak