Oleh: Hamnah B. Lin
Negara agraris, ialah istilah yang sangat sering kita dengar untuk menggambarkan negara tercinta kita ini, Indonesia. Namun ironisnya, di negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani ini, harga sayur kian hari semakin mahal.
Sayuran sebagai bahan komoditi yaang dibutuhkan masyarakat untuk menunjang hidup sehat dengan empat sehat lima sempurna nyatanya kini isapan jempol. Katanya di Indonesia tongkat kayu dan batupun bisa menjadi tanaman. Rasanya tongkat kayu dan batu kini akan mati dan habis karena manusia tak bisa makan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan komoditas impor sayuran mengalami peningkatan tertinggi bulan ini, yakni US$63,6 juta atau naik 111% dari sebelumnya. Negara pengekspor terbesar di antaranya Cina, Myanmar, dan Mesir. (Tempo, 18/5/22).
Jika melansir dari buku 'Wahana IPS' wilayah-wilayah di negara ini yang kaya hasil pertanian adalah di Karawang dan Cianjur (Jawa Barat), Madura, Jombang (Jawa Timur), Banjarnegara dan Kebumen (Jawa Tengah), Provinsi Bali, dan beberapa daerah di Pulau Sumatera.
Lantas apa yang menjadi sebab mudahnya sayuran masuk ke Indonesia. Semua berawal dari aturan yang diterapkan. Dalam sejarah pertanian tercatat, ada perubahan aturan dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 38/2017 yang direvisi menjadi Permentan 24/2018. Isinya adalah mempermudah izin rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Walhasil, persyaratan impor sayuran tidak lagi sulit. Hal ini dilakukan setelah ada protes dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap kebijakan impor Indonesia tidak sesuai aturan internasional.
Inilah realita bahwa pemerintah tidak bisa berdikari sendiri karena terikat dengan peraturan internasional. Yakni konsep pasar bebas yang sedang diberlakukan di seluruh dunia. Dengan begitu, suatu negara bebas ekspor ke negara lainnya.
Indonesia termasuk salah satu sasaran empuk negeri tujuan ekspor negara lain karena jumlah penduduk negeri ini banyak dan cenderung konsumtif. Jadi, alasan utama impor besar-besaran bukan karena negeri ini tidak mampu menghasilkan sayuran, melainkan pintu impor dibuka lebar dan aturannya makin dipermudah.
Apa yang tidak di impor oleh negeri ini, mulai dari barang berat, barang ringan, garam, pakaian bekas, bahan makanan bahkan sampah tak luput dari import. Pengaruh AS sebagai negara adidaya yang berhak membuat aturan internasional kian kentara. Dan selama Indonesia masih dalam bayang-bayang bahkan tekanan AS, indonesia tidak akan mampu mengatasi krisis pangan dalam negeri, meski Indonesia adalah negeri kaya sumber daya alamnya.
Sesungguhnya berbagai peraturan yang terus direvisi mengikuti nafsu dan kepentingan AS, telah banyak merugikan Indonesia. Namun karena adanya manfaat berupa kepentingan dan uang, negara abai akan kewajibannya dalam melayani rakyatnya, bukan melayani konglomerat. Anggapan bahwa AS adalah negara adidaya masih melekat kuat, padahal jika negeri kaum muslim bersatu, AS akan hancur dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan pemikiran, yaitu dari pemikiran yang tunduk pada asing/aseng menjadi pemikiran yang bebas dari cengkeraman mereka. Inilah pemikiran revolusioner yang akan mengubah jalan bangsa ini.
Pemikiran yang dimaksud adalah tiga pertanyaan besar yang nantinya akan menjadi akidah. Islamlah yang mampu menjawab pertanyaannya itu dan menyimpulkan bahwa dunia ini tidak muncul begitu saja, tapi ada yang menciptakan dan mengatur. Manusia wajib tunduk pada aturan itu.
Dari sinilah, kesadaran bahwa aturan yang wajib dilaksanakan adalah aturan yang bersumber dari Allah SWT semata, bukan aturan internasional yang mereka ingin mengikat negeri-negeri kaum muslim untuk dihancurkan berkeping-keping
Maka sikap kaum muslim akan tegas menolak terhadap setiap aturan yang berasal dari asing atau aseng. Hal ini karena sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS Al-Mumtahanah: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maidah: 51)
Melalui institusi yang kuat yakni khilafah, pemerintahan Islam akan tegas menolak setiap aturan dari negara kafir yang notabene menjerat dan memeras kekayaan negara. Dan negara mau mengambil aturan yang bersumber dari Allah SWT. Maka akan terwujudlah negara adidaya baru yang maju dan tangguh dengan asas akidah Islam.
Wallahu a'laam.