Dilema Sopir Angkot saat TMP Mulai Beroperasi

 



Oleh Ummu Fatiha
Ibu Rumah Tangga

Siapa yang tidak mengenal angkutan kota (angkot), moda transportasi yang selalu hilir mudik menghiasi jalanan umum. Karyawan, pelajar, ibu rumah tangga dan masyarakat lainnya menjadi pengguna utama transportasi kelas ekonomi ini. Angkot menjadi kaki masyarakat selama berpuluh-puluh tahun, memberikan kemudahan mobilitas bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan.

Seiring dengan kemajuan zaman bermunculan berbagai macam moda transportasi, baik moda transportasi massal ataupun yang sifatnya privat. Moda transportasi massal seperti bus dan MRT (Mass Rapid Transportation) menjadi solusi atas kemacetan kota-kota besar seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan pribadi. Moda transportasi privat berkembang dengan dukungan aplikasi smart phone sehingga jasa transportasi lebih personal dalam menentukan rute dan tepat waktu.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat  telah memulai meluncurkan moda transportasi alternatif yang diharapkan dapat menurunkan tingkat kemacetan kota. Moda transportasi ini disebut Trans Metro Pasundan (TMP). Layanan transportasi ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan dan Pemprov Jawa Barat.

Operasional TMP dilaksankaan oleh Perum DAMRI dan PT. Big Bird Pusaka. Saat ini TMP telah melayani lima rute pelayanan yaitu Leuwipanjang-Soreang, Kota Baru Parahyangan-Alun-Alun Kota Bandung, Baleendah-BEC, Leuwipanjang-Dago, dan Dipatiukur-Jatinangor. Operasional TMP mulai pukul 05.00-21.00 dengan 85 bus yang siap melayani penumpang.

Bukan tanpa risiko, kehadiran TMP sebagai solusi mengatasi kemacetan tentu akan berdampak pada nasib sopir angkot. Bagaimana pun sopir angkot adalah bagian dari pelaku ekonomi masyarakat yang harus didengar pendapat dan masukannya. Pemerintah perlu mendengar dan memperhatikan aspirasi mereka sebagai bentuk kewajiban dalam mengayomi masyarakat. Hal ini sangat penting, karena penyebab utama kemacetan diperkotaan bukanlah angkot tapi kendaraan pribadi yang meningkat secara signifikan, ditambah pengaturan lalu lintas serta jumlah kendaraan yang masih kurang. Bisa dikatakan sopir angkot mengalami dua himpitan yaitu hadirnya kendaraan pribadi dan diluncurkannya kendaraan transportasi massal, sementara peran negara jauh dari harapan. 
Data menunjukkan populasi angkot di kota Bandung terus mengalami penurunan dari 15.139 unit pada tahun 2017, menjadi 12.514 unit pada tahun 2020. (bandungbergerak.id, 28/10/2021)

Penurunan jumlah angkot ini nyatanya tidak serta merta menurunkan angka kemacetan, karena jumlah kendaraan pribadi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sopir angkot saat ini tentu harap-harap cemas dengan kondisi persaingan bisnis transportasi. Setelah sebelumnya muncul moda transportasi masal seperti bus yang melayani rute dalam kota kini bermunculan taksi-taksi online yang tentu akan semakin mengambil alih penumpang mereka. Ketidakjelasan

pengaturan dari negara hingga hilangnya penghasilan akan dialami angkot bila tidak melakukan inovasi dalam pelayanan dan operasionalnya.

Jasa transportasi merupakan sektor riil yang harusnya menjadi perhatian negara sebagai bentuk tanggung jawabnya melayani publik, baik individu atau kelompok bisa mendapatkan kemudahan transportasi secara mudah, murah, dan nyaman demi kemaslahatan rakyat secara umum bukan profit oriented yang saat ini diberlakukan negara dan swasta.

Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme, akan sulit mewujudkan kenyamanan dalam pengaturan transportasi bagi pengendara atau penumpang. Negara dalam sistem ini lebih pro pemodal dengan tujuan meraih keuntungan secara materi.

Semestinya, negara bisa melakukan dua hal, yakni modernisasi sistem transportasi yang benar yang diharapkan dapat mengurai kemacetan tanpa mengurangi mobilitas warga dan dampak hilangnya pekerjaan pelaku bisnis transportasi konvensional seperti angkot.

Di samping itu, negara harus bisa mengurai kepadatan di jalan raya karena intensitas kendaraan pribadi yang terus meningkat. Hal ini bisa menimbulkan masalah lain seperti buruknya kualitas udara karena polusi gas dari kendaraan. Alat transportasi publik yang paling ideal adalah yang mampu mengangkut banyak penumpang dalam sekali jalan tanpa mengurangi keamanan dan kenyamanannya.

Jika negara penganut kapitalisme sulit dan tidak akan mampu mengurai masalah transportasi, lain halnya dengan negara dalam sistem Islam. Pemimpin dalam sistem ini telah menetapkan bahwa pelayanan kepada rakyat adalah tanggung jawab utamanya yang mencakup seluruh sektor kebutuhan publik, baik primer maupun sekunder. Setiap individu berhak terpenuhi kebutuhan pokoknya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan termasuk transportasi. Maka, dalam rangka terwujudnya tanggung jawab ini, negara wajib menyediakan fasilitas transportasi udara, laut dan darat, dengan tujuan memberikan pelayanan sebagaimana arahan syariat.

Inilah yang dimaksud riayah suunil ummah berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
Dari Ibnu Umar ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: ..."Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari)

Islam telah menetapkan bahwa kebijakan negara adalah untuk kemaslahatan warganya, termasuk kebutuhan rakyat akan infrastruktur dan jasa transportasi. Dalam kitab Al-Ahkam Ash-Shulthaniyyah, Imam Al-Mawardi mengungkapkan bahwa ketika Bashrah dijadikan ibu kota pada masa Umar bin Khattab, pemerintah membangun pemukiman dengan lebar jalan raya seukuran 60 hasta (1 hasta = 0,45 meter, 60 hasta = 27 meter), dan lebar jalan biasa seukuran 20 hasta (9 meter) sementara lebar gang seukuran 7 hasta (3,15 meter). Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw., riwayat Abu Hurairah yang diabadikan dalam kitab Al-Lu’lu wal Marjan;
“Jika orang-orang saling berdesakan di suatu jalan, buatlah lebar jalan tersebut seukuran tujuh  hasta.”

Baginda Nabi saw. pun sosok yang sangat memperhatikan hewan tunggangannya, beliau memiliki unta yang bernama Al-Qaswa, unta ini dibeli dari Abu Bakr Ash-Shiddik. Diberi nama tersebut karena unta ini dapat berjalan dengan cepat. Julukan lain dari unta ini adalah Adba yang artinya kuat. Tunggangan Nabi ini memiliki sifat cerdas dan sangat waspada karena sangat terlatih. Tak heran bila unta ini dipergunakan oleh Nabi saw. saat hijrah dan saat menaklukkan kota Makkah.

Meski moda transportasi semakin berkembang, setidaknya hanya Islam dan pemimpinnya yang mampu memberikan pengaturan yang benar tanpa motif profit oriented, yaitu pemimpin yang selalu memikirkan untung rugi dalam melayani urusan publik.

Alat transportasi terbaik yang harus diberikan negara kepada rakyatnya adalah moda transportasi yang cepat, kuat dan aman sehingga dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat.

Begitulah Islam mengatur pelayanan publik agar dapat memberikan manfaat yang besar kepada rakyat. Kepedulian pemimpin dan pelaksanaan syariat secara total menjadi kunci keberhasilan transportasi publik.

Wallahu a’lam bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak