Demokrasi Menyuburkan Korupsi dan Politik Dinasti



Oleh: Tri S, S.Si


Bupati Bogor Ade Yasin bersama tujuh orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. Ade Yasin diduga kuat menyuap oknum pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat (Jabar) demi mendapatkan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Seperti yang diketahui, Ade Yasin adalah adik dari Rahmat Yasin, mantan Bupati Bogor dua periode yang juga terjerat kasus korupsi pada 2014 silam. Itulah yang kemudian menggiring opini masyarakat bahwa dinasti politik telah menjadi tradisi dan mandarah daging di sistem demokrasi negeri ini. Fenomena ini bukanlah yang pertama kali. Seblumnya kita juga disuguhi berita Ratu Atut dan yang lainnya. Bahkan pada Oktober 2020 lalu, lembaga penelitian Nagara Institut mengumumkan hasil riset terbaru mereka tentang politik dinasti di Pilkada Serentak 2020. Dalam riset tersebut ditemukan, sebanyak 124 calon kepala daerah diketahui terpapar dinasti politik. Dari 124 calon kepala daerah tersebut jika diklasifikasikan secara gender, terdapat 67 orang berjenis kelamin laki-laki dan 57 perempuan. Dan dari 57 perempuan tersebut, terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya,” kata peneliti Nagara Institut Febriansyah Ramadahan, dikutip VOI dari laman resmi Nagara Institut, Selasa, 6 April 2021.


Secara sederhana, politik dinasti merupakah sebuah upaya untuk mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan gologan tertentu untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara. Kata “dinasti” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah atau semua yang berasal dari satu keluarga. Karena politik di Indonesia menganut sistem demokrasi, dan bukan kerajaan atau monarki, maka munculah istilah politik dinasti.


Pengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, Pudjo Rahayu Rizan menyebut dinasti politik ibarat pisau bermata dua. Karena di satu sisi, praktik politik dinasti merampas hak orang lain sebab berpotensi menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara, pada sisi lainnya, pelarangan terhadap seseorang yang memiliki hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, juga melanggar hak politik seseorang, sehingga bertentangan dengan asas demokrasi. (www.antaranews.com, 6 April 2021).


Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi sehinngga politik dinasti dihalalkan melalui putusan MK No.33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Di atas kertas, para pemuja demokrasi masih mengira bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan paling ideal dalam menjalankan pemerintahan. Padahal, kecacatan demokrasi sebenarnya tidak bisa ditambal sulam. Dampak kecacatannya bisa kita saksikan hari ini. Budaya korupsi menggurita, kaderisasi parpol yang tampak gagal, politik transaksional hingga oligarki politik menjamur di sistem demokrasi.


Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sejatinya hanyalah kamuflase. Faktanya, rakyat hanya bisa memilih calon dari kader yang dipilih parpol atau calon independen yang didukung parpol. Tanpa kendaraan bernama partai politik tidak mungkin seseorang bisa mencalonkan diri dalam pemilu. Inilah fakta politik demokrasi. Kasus korupsi politik dinasti Ade Yasin memberi kita pelajaran penting bahwa sistem politik demokrasi tidak akan mampu membentuk kader yang berintegritas dan jujur. Partai politik lebih banyak terjebak politik pragmatis.


Partai politik berdiri bukan hanya untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, partai politik memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Politik yang bermakna mengurus urusan rakyat. Ketika manusia sudah tergoda kemewahan atau kenikmatan dunia, maka banyak setan akan menemani. Bujukan dan rayuan akan silih berganti. Gaji kecil jadi masalah, gaji besar pun terasa tak cukup. Hingga korupsi dianggap wajar. Rasanya di negeri ini sulit menjauhkan diri dari kejahatan satu ini.


Tak terhitung banyaknya pelaku korupsi di Nusantara. Apakah karena kurangnya kontrol atau lemahnya aturan hukum? Atau karena korupsi dianggap budaya? Rasanya semua tepat. Naudzubillah. Berbagai kasus megakorupsi belum teratasi dan gak jelas arahnya kini muncul lagi korupsi baru, yang mirisnya justru muncul di tubuh lembaga negara yang diharapkan jadi penyambung lidah rakyat. Melihat tingginya angka korupsi yang melanda negeri ini, tentu jadi pertanyaan besar mengapa hal demikian terus berulang? Salah satu jawabanya karena tidak ada efek jera dari sanksi yang diberikan pada pelaku korupsi.


Hukuman bagi koruptor di Indonesia yakni minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Sanksi ini terkategori cukup ringan karena masih bisa dilakukan deal-deal politik, ada pengurangan masa tahanan. Juga ada fasilitas remisi tiap tahun dan segudang fasilitas mewah bagi koruptor kelas kakap saat berada dalam penjara. Tentu hal ini tak akan membuat efek jera, karena penjara ibarat hotel mewah.


Hukuman Koruptor dalam Islam


Dalam sistem peradilan Islam hukuman bagi pelaku korupsi masuk kategori ta'zir. Yang jenis hukumannya dikembalikan pada keputusan khalifah atau kepala negara. Hukumannya bisa meliputi, penjara, diasingkan atau bisa juga dibunuh.


Mengutip dari Republika, "AF Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khaththab menjabat sebagai khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang melakukan korupsi."


Belum lama menjabat, Umar juga menginspeksi kekayaan pejabat negara dan menyita harta yang didapat bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di Baitul Mal untuk digunakan bagi kepentingan rakyat. Sebagai pencegahan lanjutan, ia melarang pejabat eksekutif turut campur dalam pengelolaan Baitul Mal (Kas negara). Di tingkat provinsi, pengelola keuangan daerah tidak bergantung pada gubernur dan tanggung jawab mereka langusng kepada pemerintah pusat.


Selain tegasnya sanksi dalam membuat efek jera pelaku korupsi, dalam Islam juga yang diutamakan adalah mental amanah seorang pejabat. Karena setiap jabatan dan amanah sekecil apapun pasti ada pertanggungjawabannya. Hal ini ditopang oleh ketakwaan masyarakat yang baik, sehingga kemaksiatan bisa diminimalisir. Cukuplah firman Allah Ta'la berikut sebagai pengingat :


"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah." (QS. Luqman : 33)


Maka sebagai muslim kita wajib menjadikan syariat Islam sebagai pengatur semua sisi kehidupan, baik hukum, politik dan kenegaraan. Agar semua keagungan nilai-nilai Islam bisa terelisasi di dalam kehidupan sehari-hari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak