Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan keluarga
Tradisi mudik identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Namun, mudik juga dilakukan masyarakat di sejumlah negara, orang berbondong-bondong pulang ke rumah halamannya saat perayaan hari besar mereka. Di Indonesia, istilah mudik lebaran berkembang sekitar 1970-an.
Bagi sebagian umat Islam, mudik bukanlah sekadar tradisi. Aktivitas mudik adalah cerminan kesadaran tentang pentingnya memelihara silaturahmi di antara keluarga besar seorang muslim. Itulah sebabnya mudik lebaran menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu. Sebagian kalangan akan melakukan apa pun untuk bisa berkumpul dengan sanak keluarga.
Saat ini, mudik menjadi salah satu hak publik menjadi harapan yang sulit diwujudkan bagi kebanyakan orang. Betapa tidak, untuk kebutuhan sehari-hari saja rakyat dalam kondisi serba susah, apalagi jika harus menyiapkan bekal untuk mudik ke kampung yang didambakan.
Tidak dimungkiri, kemiskinan masih menjadi PR besar di negeri ini, bahkan dunia secara keseluruhan. Tidak hanya saat terjadi pandemi Covid-19 yang muncul sejak 2019, tapi jauh sebelumnya dunia sudah masuk dalam kondisi krisis, bahkan resesi ekonomi global.
Ketika dunia dilanda pandemi, problem pengangguran dengan cepat meluas akibat kolapsnya sektor riil. Berbagai aktivitas ekonomi tiba-tiba mengalami pembatasan, membuat jutaan orang menjadi pengangguran. Daya beli masyarakat pun berkurang jauh, dan kesenjangan ekonomi pun makin melebar.
Tiga tahun pandemi nyatanya telah menambah jauh harapan dunia untuk mewujudkan kesejahteraan. Dengan pandemi, pihak pemerintah seakan mendapat alasan untuk menutup ketidakmampuan menyolusi problem kemiskinan. Pemerintah malah terus berkutat pada upaya-upaya pragmatis dan kental dengan pencitraan.
Ironisnya, situasi buruk ini tak menghentikan cengkeraman politik oligarki dalam kekuasaan dan ekonomi. Berbagai kebijakan, termasuk bidang layanan publik, serta proyek-proyek pembangunan tampak sangat pro kepentingan pemilik modal, bahkan kental aroma bagi-bagi kue kekuasaan.
Fenomena kemiskinan yang mewarnai aktivitas mudik hanyalah satu dari sekian banyak persoalan yang butuh solusi struktural. Ini karena bisa dipastikan, kemiskinan adalah potret kehidupan mayoritas masyarakat, bukan kasus satu dua orang. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berjiwa sekuler liberal memang tak di-setting untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Sistem ini justru menjadi jalan bagi para pemilik modal menguasai aset-aset publik, termasuk seluruh kekayaan alam yang melimpah ruah yang sejatinya merupakan bekal kehidupan dari Allah untuk makhluk hidup secara keseluruhan.
Sistem kapitalisme liberalisme terbukti menjadi biang segala kerusakan. Penerapannya telah membuat pemerintah mengalami disorientasi dan abai terhadap berbagai kepentingan umat. Ini karena kapitalisme liberalisme tegak di atas akidah sekularisme yang menafikan peran agama dari kehidupan. Tidak ada dosa dan pahala, yang ada adalah hitung-hitungan kepentingan.
Kondisi ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Sejarah peradaban Islam telah membuktikan kehebatan aturan-aturan Islam saat diterapkan. Sistem politik ekonomi Islam menjamin kesejahteraan orang per orang. Hal ini karena aturan Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.
Sistem pemerintahan Islamnya pun mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sekaligus membangun kemandirian. Tidak ada kepentingan yang dibela dan ditegakkan selain kepentingan Islam dan rakyatnya.
Begitu pun dengan sistem sanksi Islam. Bentuknya yang keras dan tegas justru menutup celah penyelewengan. Hal ini ditunjang oleh penerapan sistem-sistem lainnya secara menyeluruh. Satu sama lainnya saling mengukuhkan sehingga kehidupan masyarakat Islam berjalan penuh kebaikan dan keberkahan. Wallahu a’lam bi ash showab