Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Moment Ramadhan dan idul fitri, adalah moment “pengemblengan” bagi kaum muslimin. Tidak tanggung – tanggung, hasil akhir yang diinginkan Allah adalah predikat taqwa. Banyak ulama’ mendifinisikan taqwa adalah melaksanakan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan Allah SWT. Namun, kabar kurang sedap harus diterima kaum muslimin yang lurus dan ingin merealisasikan definisi taqwa dalam kehidupan mereka.
Sebut saja isu radikalisme, radikalisme masih dianggap sebagai momok berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Memasuki Ramadan, BNPT menyambangi Kantor Pusat Muhammadiyah untuk memperkuat pengarusan moderasi beragama. Keduanya sepakat bahwa penyebaran paham radikal harus ditangkal. Salah satu gagasan yang dianggap radikal adalah keinginan mengganti haluan negara dengan sistem agama. Menurut keduanya pula, gagasan seperti ini merupakan kesalahan fatal. Indonesia adalah negara kesepakatan, dan ini sudah final. Para ulama sudah sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila. Oleh karenanya, moderasi beragama menjadi model yang sangat cocok dalam menangkal narasi radikal.
Patut diduga, sistem agama yang dimaksud adalah sistem Khilafah dan ajaran Islam kafah. Menuding Khilafah sebagai gagasan radikal tentu sangat gegabah, karena Khilafah adalah ajaran Islam, sedangkan penerapan ajaran Islam kafah adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Khilafah memang tidak termasuk rukun iman. Juga bukan rukun Islam. Namun, para ulama menyebut Khilafah sebagai mahkota kewajiban. Bahkan Rasulullah saw. menyifatinya sebagai simpul utama tempat terikatnya ajaran-ajaran Islam.
Dari Abu Umamah al-Bahili dari Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai, maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah kekuasaan, dan yang paling akhir adalah salat.” (HR Ahmad)
Nyatanya, syariat Islam kafah memang tidak bisa dijalankan tanpa institusi Khilafah. Hukum-hukum Islam tentang sanksi, ekonomi, moneter, pergaulan, politik, pendidikan, informasi, media massa, polugri, hankam, jihad, dan lain-lain hanya akan menjadi gagasan tak bermakna jika tidak ditegakkan.
Padahal, tidak ada pilihan bagi seorang muslim selain melaksanakan Islam secara keseluruhan. Karena jika tidak demikian, berarti dia telah mengikuti jalan setan. Allah taala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Yang fatal justru menstigmakan Khilafah dan Islam kafah sebagai ide radikal. Upaya menjauhkannya dari umat, sama halnya dengan upaya menjauhkan umat dari kebaikan dan keberkahan.
Terbukti saat umat hidup tanpa penerapan Islam kafah, berbagai keburukan dan krisis multidimensi terus menimpa umat Islam. Bahkan umat Islam kian kehilangan jati dirinya sebagai sebaik-baik umat dan umat penegak keadilan. Mereka terpecah belah dan terjajah. Allah Swt. berfirman,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124)
Sementara di sisi lain kita dapati, arus moderasi terus digulirkan untuk berusaha membuat kaum muslimin merasa tidak berdosa ketika telah jauh dari agamanya. Dengan dalih toleransi dan menerima perbedaan, bahkan hal yang jelas dilarang pun bisa dilanggar. Semua itu karena dianggap tidak sesuai dengan semangat toleransi.
Dari ini kita bisa pahami, bahwa ketaqwaan hanya mungkin diraih dengan pelaksaan Islam kaffah, dan sangat tidak mungkin ketaqwaan bisa diraih dalam penerapan Islam moderat. Wallahu a’lam bi ash showab.