Oleh Rifka Nurbaeti, S.Pd.
(Pegiat Literasi)
Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menjadi sorotan serius pemerintah Amerika Serikat. Dalam laporan pelanggaran HAM Indonesia yang dipaparkan di situs resmi Kedutaan Besar AS di Indonesia, ada tujuh poin yang menjadi perhatian mereka. Disebutkan bahwa Indonesia melanggar poin-poin yang mencakup; tidak menghormati integritas individu, tidak menghormati kebebasan sipil, tidak ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses politik, kurangnya transparansi dalam kasus korupsi, intimidasi terhadap LSM, definisi soal pemerkosaan yang memberatkan pihak perempuan, dan rendahnya hak pekerja untuk berunding bersama. (dunia.rmol.id)
Masih banyak lagi sejumlah kasus di Indonesia yang jadi sorotan dalam Laporan HAM AS di situs Kedubes AS. Sementara itu, Kemlu menanggapi Laporan HAM AS tersebut dengan balik melancarkan sindiran tajam terhadap Paman Sam. (CNN Indonesia). "Apakah tidak ada kasus HAM di AS? Serius?" kata Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, kepada CNNIndonesia.com pada Sabtu (16/4) saat dimintai tanggapan soal laporan HAM tersebut.
Ketidakpercayaan rakyat Indonesia pada pemerintah yang terus membesar memang benar faktanya. Ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat kerap banyak terjadi mulai dari kasus hukum yang tebang pilih, pengabaian kasus korupsi di tingkat pejabat tinggi, kenaikan harga pangan yang terus membengkak, dan lain-lain. Jika kondisi ini terus berlanjut maka akan berpotensi mengacaukan politik dan ekonomi negeri. Kondisi inilah yang disadari oleh AS bahwa rezim ini sedang menghadapi ketidakpercayaan dari rakyatnya.
AS sebagai negara adidaya yang mengemban ideologi kapitalis yang kekuatannya sudah banyak mencengkram di negeri-negeri kaum Muslim tentunya AS harus mengamankan pengaruhnya. Permainan politik ekonomi AS sangatlah jelas berorientasi pada agenda penjajahan. Salah satu upaya yang dilakukan AS untuk mengamankan pengaruhnya adalah AS mendukung para penguasa yang menguntungkan mereka.
Penguasa dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan AS. Sebagaimana krisis yang terjadi di Libya tahun 2015, krisis tersebut sebanarnya adalah perang proxy dengan memanfaatkan kekuatan lokal dan regional. Eropa-Inggris dan AS saling berebut minyak Libya yang berlimpah. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan dari kepala National Oil Corporation (NOC), Mustafa Sanallah dikutif dari majalah Petroleum Economist yang berbasis di London. Mustafa menyatakan bahwa ‘Perang di Libya adalah tentang minyak, saya telah mengatakannya berkali-kali’. AS sengaja menyulut perang saudara di Libya karena berharap mereka akan mengajukan penyelesaian konflik di meja perundingan dengan AS sebagai pengendalinya.
Tentunya kaum Muslim harus bisa berfikir dan memahami yang yang dilakukan atau dibuat oleh negara-negara Barat khususnya AS ketika mereka berkoar-koar tentang laporan pelanggaran HAM, sejatinya bukanlah bentuk kepedulian karena AS tidak akan memperdulikan apapun kecuali ada keuntungan bagi mereka yang hendak diraih. Apa yang dilakukan AS adalah sebagai upaya untuk mengikuti situasi yang memanas demi mengamankan kepentingannya di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam, seolah-olah bahwa AS peduli dengan kondisi yang terjadi di negeri ini.
Oleh karena itu, kaum Muslim membutuhkan sistem pemerintahan yang independen yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan negara lain, sistem kepemimpinan tersebut adalah khilafah ilamiyah. Sistem tersebut sudah pernah dimiliki oleh kaum Muslim selama 1300 tahun lamanya. Sistem kepemimpinan khilafah adalah sistem yang dibangun atas dasar ideologi Islam yang keberadaannya mampu melindungi negara dari negara lain yang ingin merongrong dan menjajah.
Khilafah adalah negara berdaulat berdasarkan hukum syariat Islam, sehingga perpolitikan didalamnya tidak akan bisa diintervensi oleh negara manapun. Di samping itu juga negara-negara lain tidak bisa mencampuri pengurusan yang dilakukan oleh khilafah terhadap rakyatnya.
Sistem khilafah yang disandarkan pada hukum syariat tentu tidak akan membiarkan celah sedikitpun bagi negara-negara kufur mencampurinya karena hal tersebut jelas dilarang dalam syariat Islam yang menjadi dasarnya yakni sebagaimana firman Allah Swt.dalam TQS. An-nisa ayat 144 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?
Pilihan ada di tangan kita akan bertahan dengan sistem yang ada, atau mengganti dengan sistem yang telah terbukti ribuan tahun mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan?
Wallahu a’lam bishawwab