Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Rabu (27/4/2022), publik dikejutkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Bupati Bogor, Ade Yasin. Tak hanya yang bersangkutan, dalam OTT tersebut KPK pun turut menangkap sejumlah orang, salah satunya merupakan pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.
Hal tersebut dikonfirmasi melalui konferensi pers yang dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, pada Kamis (28/4/2022) dini hari. Dalam konferensi yang turut menghadirkan tersangka, ketua KPK Firli Bahur memberikan keterangan lengkap terkait OTT yang dilakukan pada Bupati Bogor Ade Yasin.
Ada delapan tersangka yang ditahan terkait dengan OTT kali ini, meliputi Bupati Bogor Ade Yasin, tiga pejabat dan ASN Pemkab Bogor serta empat orang pegawai BPK Jawa Barat. Mereka ditahan atas kasus dugaan suap kepada anggota tim audit BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai total suap Rp1,024 Miliar guna mengurusi laporan keuangan Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021 agar menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). (Kompas.com, 28/04/2022)
Penahanan atas Bupati Bogor kali ini menjadi tamparan keras bagi para elit politik, pasalnya publik masih teringat betul dengan kasus penahanan Bupati Bogor terdahulu, Rahmat Yasin, yang tidak lain merupakan kakak dari Bupati Bogor saatini, Ade Yasin.
Kala itu Rahmat Yasin terjerat kasus suap tukar-menukar kawasan hutan PT Bukit Jonggol Asri dan terbukti melakukan gratifikasi untuk kepentingan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bogor pada 2013 dan 2014, yang diambil dari SKPD Kabupaten Bogor dengan total sekitar Rp 8,9 miliar. Yang bersangkutan telah diproses hukum, dan kini adiknya tersandung kasus yang serupa dan bersiap untuk menjalani proses hukum yang menanti. (Tirto.id, 28/4/2022)
Ada beberapa spekulasi yang dikeluarkan terkait dengan kasus ini, mulai dari terlalu luasnya wilayah yang diurusi, melimpahnya sumber daya daerah yang dimiliki, gagalnya kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik, hingga masalah mahalnya biaya kontestasi yang harus dikeluarkan oleh para pemimpin daerah.
Namun dibalik semua spekulasi di atas, fakta tentang politik keturunan atau dinasti sudah lama dikenal oleh khalayak. Bahkan, apa yang menimpa Bupati Bogor kali ini nyatanya bukan yang pertama kali. Kasus serupa juga menimpa beberapa pemimpin wilayah dan saudaranya yang berbasis politik dinasti. Semisal kasus yang menimpa Ratu Atut Chosiyah (eks gubernur) bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Atut dan Wawan tersandung kasus korupsi alkes.
Selain itu, ada juga kasus Wali Kota Cimahi 2012-2017, Atty Suharti yang juga menyeret suaminya, Itoc Tochija. Suami-istri ini tersandung kasus korupsi pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II pada 2017. Lalu ada kasus Yan Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin 2013-2018. Anton ditangkap terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin pada 2016. Nasib Anton mirip dengan ayahnya Amiruddin Inoed, yang merupakan Bupati Banyuasin sebelumnya yang juga tersandung kasus korupsi.
Selain contoh-contoh di atas, ada juga kasus lainnya yang menguatkan persepsi atas buruknya sistem politik dinasti tersebut, menjadi semakin buruk sebab disandingkan dengan sistem demokrasi yang rusak saat ini. Pasalnya sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa mahalnya biaya kontestasi dalam sistem demokrasi tak pelak merupakan penyebab terjadinya perilaku korupsi di tengah-tengah mereka.
Sebenarnya persoalan dari segala masalah yang terjadi terkait dengan buruknya sistem politik dinasti saat ini adalah terkait dengan sistem dasar yang dipakai. Pasalnya, sebuah sistem yang baik akan mengatur dengan jelas terkait standarisasi seorang pemimpin dan bagaimana cara memimpin yang baik. Dia akan faham betul tentang buruknya perilaku korupsi dan menzalimi rakyat kecil.
Itulah yang sangat diwanti-wanti oleh Islam. Islam sangat membenci tindakan rasu'ah (suap-menyuap atau korupsi). Sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran, yang artinya;
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS.An-Nisa : 29)
Selain itu, Islam pun amat membenci para pemimpin yang berbuat zalim kepada rakyat nya. Bahkan, ada ancaman yang tegas terkait dengan hal tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW, yang artinya;
“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).
Islam pun memiliki kriteria yang tegas terkait dengan kriteria calon pemimpin, tidak hanya sekedar popularitas ataupun modal kontestasi yang ditonjolkan disana. Lebih tepatnya ada dia syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi seorang pemimpin dalam Islam (Khalifah), yakni terdiri dari syarat in'iqad (legal) dan syarat afdhaliyah (keutamaan).
Adapun syarat in'iqod nya itu adalah Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Semua syarat diatas jelas menggambarkan bahwa tak perlu popularitas ataupun modal yang besar untuk bisa menjadi seorang Khalifah. Melainkan kapabilitasnya sebagai muslim yang baik, yang senantiasa mengingat tugas dan tujuan kepemimpinan.
Selain hal-hal diatas, tak ada biaya kontestasi untuk menjadi seorang pemimpin dalam Islam. Inilah yang pasti, alhasil pemimpin yang dihasilkan tidak memiliki beban dan tanggungjawab apapun, terhadap siapapun. Dia tidak perlu memikirkan politik balas jasa kepada para kolega, donatur, tim sukses ataupun partai.
Dia cukup berfokus pada tugas di hadapannya, yang mana dia tak hanya bertanggungjawab pada rakyat yang telah memilihnya, melainkan juga pada Allah SWT yang telah memberikan amanah tersebut kepadanya. Hal-hal yang semacam ini sungguh hanya bisa dilakukan dan ditemukan dalam sistem Islam, dengan kekhilafahan sebagai poin penerapannya. Adapun sistem yang lain, hanya bisa memberikan beban pemenangan pada seorang calon pemimpin. Baik berupa modal kontestasi yang besar ataupun potensi pertumpahan darah yang tak bisa dihindarkan.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini