Oleh: N. Vera Khairunnisa
Beberapa waktu lalu, ramai di media sosial mengenai isu yang cukup kontroversial. Dimana seorang publik figur ternama telah mengundang pelaku L68T ke program podcast youtube miliknya.
Memberikan panggung kepada pelaku L68T sama saja dengan memberikan fasilitas kepada mereka untuk menyebarkan ide-ide kebebasan, khususnya L68T itu sendiri.
Maka wajar, ketika banyak netizen menyatakan kecewa dengan sosok publik figur yang telah memberikan panggung kepada pelaku penyimpangan. Kekecewaan tersebut terus dimunculkan oleh netizen, hingga publik figur yang bersangkutan meminta maaf dan menyatakan telah mentake down video yang sedang disorot.
Tidak sampai di situ, banyak pihak yang kemudian bersuara, di antaranya adalah yang dituliskan oleh Muhammad Said Didu di akun tweeternya yaitu: 1) demokrasi bukan berarti bebas melakukan apa saja. 2) demokrasi harus dibatasi oleh hukum, etika, moral, dan agama. 3) pemerintah harus melindungi bangsa dan rakyatnya dari perusakan moral.
Merespon pernyataan di atas, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) maupun pihak yang menyiarkan tayangan LGBT belum dilarang oleh hukum di Indonesia. (cnnindonesia. com, 11/05/22)
Sampai di sini, kita menyadari bahwa penolakan terhadap L68T tidak akan berarti dan tidak terlalu berdampak. Menyerang pelaku L68T, hingga dikabarkan akun tiktok mereka lenyap, bukanlah solusi untuk menghilangkan kaum Luth tersebut.
Ada Regulasi, Bukan Mengkriminalisasi tapi Melegalisasi
Alih-alih Indonesia memiliki payung hukum untuk menghadang kelompok mereka, justru yang ada malah hukum yang dijadikan payung untuk melegalisasi L68T. Sebutlah UU TPKS dan Permendikbud PPKS no. 30 tahun 2021.
Pasca disahkannya dua regulasi tersebut, kewaspadaan masyarakat terhadap kampanye L68T di media harus semakin tinggi. Karena dua regulasi di atas membuka peluang untuk melegalisasi atau menormalisasi perilaku L68T.
Terlebih lagi, ketika kelompok mereka mendapat dukungan dari aktivis, korporasi, politisi, dan lain-lain. Jika dibiarkan, maka pelaku akan semakin percaya diri untuk memperlihatkan identitas mereka. Sebagai sebuah indikasi bahwa kampanye L68T kian massif dan agresif. Jika sudah begini, bagaimana masa depan bangsa?
Inilah akibat dari pandangan hidup sekulerisme lebiralisme, yakni paham yang memisahkan kehidupan dan agama, serta menjunjung tinggi kebebasan. Aktivitas kaum Luth yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam, tidak bisa ditindak dengan tegas dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM).
Maka, untuk melenyapkan perilaku L68T, dibutuhkan solusi mendasar. Bukan hanya penolakan dan sekadar sanksi sosial. Namun harus ada tindakan yang tegas dari pemegang kebijakan. Hanya saja, rasanya mustahil hal ini bisa dilakukan dalam sebuah negara yang menganut demokrasi.
L68T, Hanya Bisa Diselesaikan dengan Solusi Islam
Islam memiliki aturan yang begitu rinci untuk mencegah tersebarnya perilaku L68T (liwath, dalam istilah syara'). Selain tentu saja solusi prefentif berupaya pembinaan sakhsiyah (kepribadian) Islam, Islam mempunyai aturan sanksi yang akan menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Di dalam Kitabnya Fiqh Sunnah jilid 9, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para Ulama fiqh telah sepakat atas keharaman homoseksual dan penghukuman terhadap pelakunya dengan hukuman berat.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan. Dalam hal ini dijumpai tiga pendapat. 1. Pelakunya harus dibunuh secara mutlak. 2. Pelaku dikenai had zina. 3. Pelaku diberikan sanksi berat lainnya.
Pendapat yang pertama, berdasarkan pada pendapat para shahabat Rasulullah Saw, Nashir, Qashim bin Ibrahim dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat). Pelaku harus dibunuh berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, Rasulullah Saw bersabda“Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath (sebagaimana yang dilakukan kaum Luth), maka bunuhlah ke dua pasangan liwath tersebut”(HR Al Khamsah kecual Nasa’i). Liwath atau sodomi, yaitu senggama melalui dubur atau anus.
Para shahabat Rasulullah Saw berbeda pendapat tentang cara membunuh pelakunya. Menurut Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, pelakunya harus dibunuh dengan pedang. Setelah itu dibakar dengan api, mengingat besarnya dosa yang dilakukan.
Sedangkan Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa pelakunya dijatuhi benda benda keras sampai mati. Ibnu Abbas berpendapat bahwa pelakunya dijatuhkan dari atas bangunan paling tinggi.
Al Baghawi menceritakan dari Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishak, mengatakan pelakunya harus dirajam. Hukum serupa juga diceritakan oleh Tirmidzi dari Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishak (Sayyid Sabiq, Fqih Sunnah jilid 9).
Sedangkan pendapat ke dua, menurut Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa pelakunya dikenai had sebagaimana had zina. Jika pelakunya masih perjaka maka dikenai had dera dan dibuang. Sedangkan jika pelakunya sudah menikah maka dijatuhi hukum rajam.
Dan terakhir, pendapat ke tiga, pelakunya mendapat sanksi berat, tapi tdk seperti zina karena perbuatan tersebut bukanlah hakekat zina. Disampaikan oleh Abu Hanifah, Muayyad, Billah, Murtadha dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) (Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah jilid 9)
Dengan hukuman (sanksi) yang demikian berat kepada para pelaku, maka akan membuat siapapun berpikir berkali kali untuk melakukan hal tersebut.
Hanya saja, aturan sanksi tersebut tidak mungkin bisa diterapkan dalam sistem hari ini. Namun, hanya bisa diterapkan dalam sebuah institusi negara yang berasaskan akidah Islam.
Tags
Opini