Oleh Ranti Nuarita
Aktivis Muslimah Sukabumi
Marhaban Ya Ramadhan. Satu pekan lebih sudah kaum Muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang mulia. Hari-hari dilewati dengan ibadah, kaum Muslim di seluruh dunia berupaya di bulan mulia ini untuk meraih rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sayangnya di tengah semarak Ramadan, di negeri tercinta ini terdapat fenomena di mana banyak orang yang menjajakan dan menjual makanan di siang hari.
Jika sekadar menjual mungkin tidak jadi persoalan. Hanya saja, fakta di lapangan menunjukkan banyak pedagang yang menjual barang dagangannya sekaligus menyediakan tempat makan bagi pembeli di siang hari.
Fenomena ini terjadi bukan tanpa alasan, para pedagang yang menjajakan makanan di siang hari bulan Ramadhan memang mendapat izin dari MUI.
Dikutip dari SUMUTPOS.CO (29/3/2022) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, warung makan tidak perlu tutup pada siang hari selama bulan Ramadhan. Mereka tetap diizinkan beroperasi melayani pembeli. Namun, diminta tetap menghargai umat Islam yang berpuasa.
Cholil menjelaskan, saat bulan Ramadhan umat Islam untuk kategori tertentu juga membutuhkan makanan pada siang hari. Misalnya, orang yang berhalangan berpuasa, perempuan yang sedang haid atau nifas, orang-orang dalam perjalanan jauh, dan lain sebagainya.
“Di bulan Ramadhan warung-warung tidak usah tutup tetapi jangan ngeblak atau secara terbuka makan dan minum di depan orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa,” imbuhnya.
Di sisi lain, Cholil meminta kepada umat Islam untuk saling menghargai, termasuk kepada para pedagang yang tetap berjualan saat bulan Ramadan. Dengan begitu, akan terwujud kehidupan yang harmonis. “Yang puasa jangan menutup hajat orang lain tapi yang tak puasa jangan menodai bulan Ramadhan. Ayo saling tenggang rasa dan saling menghormati,” tegasnya.
Sungguh, ironis negara dengan mayoritas Muslim tetapi justru Islam dipaksa mengalah pada kebijakan yang mengarahkan kaum Muslim agar toleran ketika terjadi kemungkaran. Padahal berpuasa di bulan Ramadhan itu hukumnya wajib tetapi dengan kebijakan tersebut sangat mungkin akan ada umat Islam yang memilih tidak menunaikannya, sebab lingkungan yang ada sangat tidak ideal menjadikan kaum Muslim menjadi seorang yang taat dan patuh pada perintah dan larangan Allah.
Sejatinya problem yang ada hari ini bukan tentang masalah fikih kebolehan membuka warung di siang hari, toleransi ataupun menghormati. Namun, ini sudah masuk ke dalam kemungkaran karena kebijakan politik yang tidak benar.
Bukan tanpa alasan pula, kebijakan yang ada hari ini sangat tidak pro terhadap kaum Muslim karena memang negara hari ini menganut sistem sekuler liberal. Sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sistem ini akan senantiasa menggiring masyarakat bahkan juga negara agar memiliki cara pandang yang bebas sampai bablas, tanpa memedulikan apakah itu dibolehkan oleh syariat atau tidak.
Sistem sekuler liberal akan senantiasa mengupayakan segala macam cara agar kaum muslimin menjauh dari agamanya. Para tokohnya bersembunyi di balik kata toleransi yang padahal itu adalah satu usaha mereka untuk mengkerdilkan pemahaman kaum Muslim akan hukum syara yang mengikatnya. Hal ini karena para penguasa dalam sistem sekuler liberal benar-benar tidak peduli dengan agama juga rakyatnya. Hal yang mereka pedulikan hanya berorientasi pada aspek ekonomi juga bagaimana cara agar mereka tidak rugi secara materi di bulan Ramadan ini.
Inilah yang terjadi akibat out put dari diterapkannya sistem sekuler liberal. Ramadhan yang harusnya jadi bulan yang dipenuhi dengan aktivitas ketaatan bagi kaum Muslim justru malah ternodai dengan aktivitas kemungkaran.
Penguasa yang seharusnya menjadi “ra’in” tidak akan ada di sistem ini. Justru sebaliknya sistem ini hanya akan melahirkan penguasa ruwaibidhah yang komprador juga ulama yang bisu saat ada kemungkaran dan kemaksiatan.
Akan sangat berbeda sekali jika kaum Muslim hidup dalam bingkai negara dengan sistem Islam atau disebut khilafah. Negara khilafah akan senantiasa memastikan syiar Islam serta akidah masyarakat tetap terjaga di bulan Ramadhan ataupun di bulan lainnya dengan upaya yang bersifat sistematis. Dikarenakan salah satu tujuan agung diterapkannya syariat Islam dalam negara khilafah adalah maqashid syariah yang di dalamnya terdapat adalah hifdzud dien (menjaga dan memelihara agama atau akidah).
Adapun cara-cara yang ditempuh negara agar kaum Muslim terkondisikan saat Ramadhan di antaranya seperti, negara berperan untuk mendidik rakyat dalam hal ini memberikan pendidikan tauhid atau akidah Islam yang kuat kepada umat hingga umat paham jati dirinya sebagai muslim, tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah dengan tidak terlepas dari asas halal dan haram.
Fungsi negara sebagai “ra’in” atau pengurus rakyat dalam khilafah tentu akan memberi dorongan juga motivasi masyarakatnya untuk berpuasa dan tidak melakukan keharaman, selain itu negara juga akan mengondisikan lingkungan agar senantiasa terjaga dalam napas ketaatan dan ketakwaan. Seorang khalifah dalam negara khilafah memelihara ketakwaan rakyatnya dengan menerapkan hukum-hukum Allah dan memastikan kecukupan kebutuhan dasar mereka sebagai manusia sehingga masalah yang muncul dari kecemasan pemenuhan kebutuhan hidup nyaris tidak ada, masyarakat di dalam negara khilafah dapat beribadah dengan khusyuk di bulan Ramadhan.
Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Imam Al-Mawardi ulama besar Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa, “Tugas kepala negara adalah iqmatul huduud (menegakkan hukum-hukum Allah Ta’ala) untuk menjaga agar larangan-larangan Allah tidak ternodai, dan tidak dilanggar.”
Jadi, dalam negara khilafah kekhusyuan ibadah kaum Muslim akan terjaga. Bulan Ramadhan tidak akan ternodai hanya karena keuntungan duniawi. Oleh karena itu agar ibadah kaum muslimin kembali terjaga selama bulan Ramadhan sudah saatnya umat sadar untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang kafah dalam naungan khilafah.
Wallahu a'lam bishawab.