Wacana Penundaan Pemilu, Demi rakyat Atau Kelompok Tertentu?



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Pemilu 2024 sudah di depan mata, sedangkan suara rakyat yang menjadi jalan menuju tampuk kekuasaan sedang tidak baik – baik saja. Menghadapi hal ini, tentu perlu langkah strategis agar blunder bola salju tidak makin membesar.

Saat ini bisa kita saksikan dengan nyata berbagai macam upaya elit penguasa mengamankan kepentingannya. Saat ini, masyarakat yang mulai menunjukan kemarahan atas kebijakan yang dinilai tidak memihak kepadanya, ditambah kegagalan berbagai macam proyek yang menggunakan dana negara, sampai gimik – gimik yang dimainkan untuk menutupi kegagalan pengelolaan negara, adalah kondisi yang perlu dikelola untuk tidak merugikan penguasa dan penyokong dananya. Maka kita saksikan, upaya – upaya pengadudombaan lapisan akar rumput dengan isu – isu agama, penciptaan sekelompok mahasiswa dan kepala desa pro penguasa, serta buzzer Rp yang terus bersuara. Selain itu, juga upaya meloloskan Undang – undang penambahan masa jabatan. Semua jelas dan nyata, hanya mengarah pada kepentingan sekelompok orang.

Terkait penambahan masa jabatan, konstitusi hanya mengatur masa jabatan presiden sebanyak dua kali, yakni pasal 7 UUD NRI 1945. Di sana disebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.” Singkatnya, sudah jelas UUD 1945 membatasi hanya dapat terpilih kembali sebanyak satu kali masa dalam jabatan yang sama. Artinya, cukup dua periode saja, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

Dan jika kita telisik lebih dalam lagi, menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode bukan hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi berarti juga harus mengubah UU 7/2017 tentang Pemilu serta II dan peraturan lainnya. 
Pasal 169 huruf (n) UU Pemilu menyatakan syarat menjadi Presiden dan Wapres adalah belum pernah menjabat di posisi itu selama dua kali masa jabatan untuk jabatan yang sama. Konsekuensinya, pasal tersebut harus diubah oleh sang pembuat UU, yakni DPR.

Namun ada hal yang tidak boleh kita lupa, dalam sistem demokrasi hukum bisa dirubah dan disesuaikan kapan saja sesuai kepentingan yang ada. Bahkan, dalam kondisi tertentu, presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dari sini, tampaknya tidak akan sulit merevisi UU asalkan cocok dalam berbagi kepentingan dengan para politisi. Bukankah sebagian besar partai sudah merapat ke dalam kekuasaan? Kalaupun nanti MPR sudah mengubah konstitusi, lalu DPR lambat mengubah UU tentang Pemilu, bisa saja presiden mengeluarkan Perppu lagi.

Yang menjadi masalah sebenarnya bukan masa jabatan, namun seberapa mampu seorang pemimpin menjalankan amanahnya. Pemimpin berbasis kapitalisme mengejar masa jabatan lama demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan dalam Islam, lama masa jabatan adalah amanah, tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), setidaknya ada tiga perbedaan menonjol mengenai masalah jabatan kepala negara. 

Pertama, masalah standar hukum yang dipakai untuk menentukan lamanya masa jabatan. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat atas kesepakatan manusia. Sedangkan dalam sistem Khilafah, hukum yang berlaku harus bersumber pada nas Al-Qur’an dan Sunah sehingga manusia tidak punya hak mengubah hukum Allah yang ada dalam Kitab Suci, Sunah, serta ijmak sahabat.

Kedua, lamanya masa menjabat. Dalam demokrasi, masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode atau sesuai kesepakatan. Sementara, masa jabatan Khalifah justru tidak dibatasi oleh waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan syariat. Jabatan Khalifah boleh sebentar, boleh lama. Ia boleh diberhentikan di tengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika senantiasa taat syariat. Ia bisa tetap dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan tidak ada aturan yang ia langgar.

Ketiga, yang membatasi jabatan Khalifah adalah syarat tertentu. Selama ia masih memenuhi syarat tersebut, ia akan menjabat sampai meninggal atau sampai tidak memenuhi salah satu syarat sebagai Khalifah. 
Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, ia wajib didengar dan ditaati.” (HR Muslim)
Hadis tersebut menunjukkan jelas bahwa baiat terhadap Khalifah bersifat mutlak dan tidak terikat jangka waktu. Batasannya, Khalifah memimpin harus sesuai Kitabullah. Dengan demikian, masa jabatan Khalifah tidak terbatas waktu, tetapi dibatasi dengan ia melanggar atau mematuhi ketentuan Kitabullah. Wallahualam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak