Oleh : Sri Rahayu
(Pemerhati Sosial, Ciparay - Kab. Bandung)
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI mewajibkan perusahaan membayar THR Idul Fitri 2022 secara penuh kepada pekerja paling lambat tujuh hari sebelum hari raya. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah 36/2021 tentang pengupahan dan Peraturan Menteri ( Pemenaker ) 6/2016 tentang THR keagamaan bagi pekerja/buruh di perusahaan. Pemerintah juga akan memberi sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakannya. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha. (Tirto, 3/4 2022).
Namun, banyak masyarakat yang menyangsikan pemerintah bisa tegas pada pengusaha yang tidak memenuhi hak rakyatnya. Ini karena pembayaran THR bukanlah kebijakan baru. Sedari dulu, persoalan tidak terpenuhinya hak pekerja, termasuk pembayaran THR, masih menjadi PR pemerintah yang tidak terselesaikan. Kebijakan ini sepintas menjadi angin segar bagi masyarakat. Sementara bagi pengusaha kecil yang baru pulih dari keterpurukan karena dampak pandemi, tentu menjadi beban. Secara teori, memang benar bahwa adanya suntikan dana semisal THR, akan menaikkan daya beli masyarakat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Namun hal tersebut bersifat temporer, tidak sustainable (berkelanjutan). Ini karena hanya dalam sebulan saja mereka bisa sedikit melonggarkan ikat pinggangnya, lantas bagaimana dengan 11 bulan lainnya ? Tentu dengan upah yg sangat minim mereka harus terus berhemat ditengah harga kebutuhan pokok yang terus melambung.
Akar masalah dari persoalan ini adalah sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dalam sistem ini, manusia diposisikan sebagai faktor produksi dan tidak lebih berharga dari faktor produksi yang lain, seperti tanah, modal, dan SDA. Agar satu perusahaan bisa menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, biaya produksi harus diminimalkan. Biaya produksi yang sangat mudah untuk ditekan adalah upah. Lahirlah konsep upah besi dalam sistem kapitalisme sebagai perhitungan terbaiknya. Terbaik disini, tentu bukan terbaik bagi pekerja, melainkan bagi pengusaha. Walhasil upah akan bertengger pada batas minimum (UMP). Jika upah terlalu tinggi, dapat menurunkan keuntungan. Sistem ekonomi kapitalisme juga memosisikannya penguasa sebagai regulator saja. Negara tidak memiliki fungsi menjamin kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan dalam pemerintahan Islam, negara berfungsi sebagai pihak sentral dalam mengurus seluruh urusan umat dan mampu menjamin kesejahteraan warga. Sistem pemerintahan Islam akan menindak tegas para pengusaha yang mangkir dari kewajibannya memenuhi hak pekerja. Pemerintah pun akan memastikan pekerja diupah setara dengan manfaat yang diberikan pada majikannya. Jika upah masih belum memenuhi kebutuhan hidup seseorang, semua itu adalah tanggung jawab penguasa.
Kisah Khalifah Umar bin Khathab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dengan kedua anaknya yang sedang kelaparan. Semua ini semata adalah wujud tanggung jawab penguasa dan juga kasih sayangnya pada rakyatnya. Ada juga kisah yang sangat masyhur, ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahwa beliau mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tidak didapati seorang pun yang berhak menerima zakat. Semua itu karena penerapan sistem Islam yang utuh oleh negara dan juga sistem ekonomi yang berfokus pada umat.
Dengan demikian, solusi atas permasalahan ini adalah harus mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam yang telah terbukti mampu mensejahterakan warga selama berabad abad lamanya. Dan institusi yang akan menerapkan Islam secara utuh adalah Daulah khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini