Oleh : Dara Millati Hanifah, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Akhir-akhir ini, dunia pendidikan dihebohkan dengan munculnya wacana terkait RUU sisdiknas (Rancangan Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional). Hal tersebut menuai pro kontra dari kalangan pendidikan karena ada frasa yang dihilangan dalam undang-undang tersebut, yaitu terkait kata madrasah.
Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu), Arifin Junaidi mengkritik draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) karena menghapus penyebutan jenjang madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ia menegaskan bahwa madrasah merupakan bagian terpenting dalam sistem pendidikan nasional. Namun, peranan madrasah di tengah masyarakat selama ini terabaikan.
Ia menilai UU Sisdiknas pada 2003 yang berlaku saat ini sudah memperkuat peranan madrasah dalam satuan pendidikan yakni, sekolah. Sedangkan, dalam draf RUU Sisdiknas sama sekali tak mencantumkan diksi madrasah. Draf tersebut hanya mengatur tentang Pendidikan Keagamaan dalam pasal 32. Namun, pasal itu tidak menyebut soal kata madrasah. (Cnnindonesia.com, 28/03/2022)
Beberapa minggu yang lalu, Kamis 24 Maret 2022 Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dengan Komisi X DPRI RI, di Jakarta.
APPI meminta DPR untuk tidak memasukkan RUU Sisdiknas ke dalam Prolegnas Prioritas 2022 dan merekomendasikan Kemendikbudristek membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendesain peta jalan pendidikan nasional, naskah akademik, dan draf RUU Sisdiknas. Seperti, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Taman siswa, serta Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU) dan pemangku kepentingan lainnya.
APPI berpendapat pembaruan UU Sisdiknas sangat diperlukan, tetapi pembaruan ini memerlukan kajian yang mendalam, naskah akademik yang komprehensif, dan keterlibatan publik yang luas. APPI juga mengusulkan, Kemdikbudristek perlu mengintegrasikan 23 UU yang terkait pendidikan dan membuka ke publik naskah akademik juga draf RUU Sisdiknas agar publik bisa menyampaikan aspirasinya terkait draft RUU tersebut terutama para guru dan dosen yang selalu berada di sekolah.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sisdiknas masih di tahap awal perencanaan dan tidak dilakukan tergesa-gesa sebab akan ada keterlibatan publik yang lebih luas lagi.
Ia mengatakan uji publik terbatas sudah dilakukan beberapa kali untuk meminta masukan dari berbagai perwakilan organisasi pemangku kepentingan pendidikan maupun individu untuk menyempurnakan draf naskah akademik dan RUU.
Adapun, materi Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sedang disiapkan oleh kemendikbud akan menggabungkan tiga undang-undang terkait pendidikan, sekaligus menghapus UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Anindito mengatakan RUU Sisdiknas nantinya akan memangkas aturan-aturan tumpang tindih dan ketentuan-ketentuan yang dirasa tidak perlu diikat dalam undang-undang karena terlalu spesifik. (Tempo.co, 24/03/2022)
Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa pendidikan saat ini, terutama pendidikan yang berbasis Islam sedikit demi sedikit dileburkan. Kenapa? karena sistem yang digunakan saat ini masihlah sistem sekulerisme. Yakni sebuah sistem yang menganggap bahwa semua hal yang berhubungan dengan Islam dan berusaha untuk menselaraskan Islam dengan kehidupan adalah sesuatu yang tidak baik jika diterapkan. Terkesan kuno dan seakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
Padahal, sistem pendidikan Islam atupun pendidikan yang berbasis Islam sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. Dan beliau menjadi guru pertama bagi umat Islam. Beliau mengajarkan ayat-ayat Alquran dan hadis kepada para sahabat hingga mereka bisa menghafal dan memahaminya.
Tak hanya itu, di masa Rasul, Darul Arqom menjadi tempat pertama yang dibangun sebagai pusat pembinaan dan pendidikan. Pada masa itu, pendidikan yang dilakukan disana akan melahirkan pribadi peserta didik yang baik dalam kehidupan, tidak hanya di dunia tetapi di akhirat. Dimana, Al-Quran dan Sunnah menjadi sumber ilmu pendidikannya.
Adapun materi yang diajarkan pada masa itu terbagi menjadi dua, yaitu pada periode Makkah dan Madinah. Pembinaan materi pendidikan Islam di Makkah menanamkan nilai-nilai tauhid. Sedangkan di Madinah mulai adanya pembinaan dalam berbagai bidang seperti pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan, dan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi bidang pendidikan sosial dan politik.
Pola pendidikan pada masa Rasulullah sebenarnya masih relevan untuk digunakan di masa saat ini. Karena, Pendidikan bukan sesuatu yang harus diuji coba, secara terus menerus. Pendidikan harus terencana dengan sebaik mungkin. Dimana, orang yang terlibat harus serius dalam menjalankannya. Dengan begitu, akan terlaksana pendidikan yang sesuai dengan syariat Islam. Melahirkan generasi cemerlang yang berakhlakul karimah dan ahli dibidangnya.
Pola itu berlanjut hingga masa kekhilafahan. Pada masa itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam antara lain, Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika. Masing-masing dari lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju. Dan melahirkan beberapa cendekiawan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi, dan al-Ferdowsi.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, juga mulai dirintis sistem pendidikan dan pengajaran yang terorganisasi. Dimana Umar mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi guru di daerah tersebut. Para petugas khusus ini bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat, melalui halqah-halqah untuk mempelajari agama.
Pada perkembangannya, materi yang diajarkan pada halqah-halqah ini tidak hanya terbatas kajian agama, tetapi mengkaji disiplin ilmu yang lain seperti bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sharaf, maupun balagah. Juga mengkaji berbagai persoalan lain sesuai apa yang dibutuhkan masyarakat. Saat itu, Khalifah Umar, juga meminta kepada para orang tua untuk mengajarkan anak laki-laki mereka berbagai macam ketangkasan olahraga, seperti berenang, memanah, dan menunggang kuda.
Kurikulum umum yang digunakan pada masa itu adalah menulis dan aritmatika. Sementara ilmu Alquran, menjadi mata pelajaran yang utama diajarkan pada tingkat dasar hingga menengah. Karena ilmu al-qur’an sangat penting bagi kehidupannya.
.
Masya Allah, Rasulullah sudah mengajarkan kepada kita bagaimana sistem lpendidikan itu berjalan. Dan sudah seharusnyalah kita menerapkan pola tersebut dalam dunia pendidikan saat ini. Yang pasti sesuai dengan al-qur’an dan as-sunnah. Insya Allah, jika menerapkan pola tersebut akan lahir generasi cemerlang yang berakhlakul karimah dan ahli dibidangnya.
.
Wallahu’ alam bi shawab
Tags
Opini