Oleh : Tri Setiawati, S.Si
Kini pajak semakin membebani rakyat. Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang diputuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda. Menurut ekonom senior, Faisal Basri tidak ada unsur keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%.(CNBC Indonesia, 1/4/2022).
Setiap kenaikan tarif pajak tentu akan memberikan dampak pada daya beli masyarakat. Bagaimana tidak, ini dikenakan terhadap hampir seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kaya hingga miskin sekalipun. Kenaikan tarif pajak ini pastinya mengundang perdebatan dan penolakan, namun tanpa aba-aba lagi, akhirnya kebijakan ini sudah diketok palu.
Anehnya lagi kenaikan pajak ini terjadi saat masyarakat masih dilanda pandemi. Disaat banyak terjadi PHK yang dialami kepala keluarga. Disaat masyarakat masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Kebijakan ini terkesan dipaksakan kepada rakyat, sehingga nampak lah ciri khas kapitalis yang dilakukan oleh negara ini.
Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat, sementara pengusaha dibiarkan mendapat pengampunan pajak. Alasan pemerintah menaikkan PPN adalah untuk menyehatkan kondisi perekonomian APBN, walau untuk itu harus mencekik perekonomian masyarakat.
Sampai kapan, rakyat mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Penyakit kronis masyarakat akibat kapitalis ini, sudah waktunya disembuhkan. Pajak dalam pandangan Islam, bukanlah sumber pemasukan negara. Negara Islam memiliki sumber pendapatan dari yang lainnya. Tentunya salah satunya adalah sumber daya alam. SDA akan dikuasai seluruhnya oleh pemerintah, untuk kepentingan rakyat, bukan malah diberikan kepada asing.
Saat ini, kita menyaksikan bagaimana potret buramnya kehidupan masyarakat dalam cengkeraman sistem kapitalis. Sistem ini sangat bertumpu pada pajak. Otak kapitalis yang begitu memuja materi mulai menyeruak tatkala kita berbicara soal pengaturan kehidupan masyarakat, ekonomi, dan juga keuangan negara. Maka, pajak hadir menjadi instrumen utama dalam mengisi kas negara. Adapun selain pajak, negara juga akan berutang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang basisnya adalah ribawi. Sementara pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kian diliberalisasi (privatisasi) atas nama investasi. Inilah prestasi sistem kapitalis.
Dalam sistem ini, keberadaan masyarakat tidak boleh terus disubsidi oleh negara, karena jelas akan membebani APBN. Maka, semua aktivitas perekonomian yang terjadi harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Dampaknya, utang negara yang berbasis ribawi bisa semakin membengkak jumlahnya. Selain negara menanggung beban utang pokoknya, juga bunga yang sangat berlipat. Maka, untuk mengatasi APBN yang kian sulit bernapas dengan beban utang yang besar, ditariklah pajak dari rakyat. Ya, masyarakat akan terus diburu dengan kenaikan pajak dari waktu ke waktu. Bahkan PPN akan direncanakan naik 12 persen di tahun 2025 mendatang (Kompas.com, 6/11/2021).
Islam sebagai agama paripurna punya seperangkat hukum yang mampu memecahkan persoalan hidup manusia, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Islam telah menggariskan batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mekanisme ekonominya. Allah Swt. telah menetapkan sejumlah aturan untuk kehidupan manusia. Karena sejatinya Allah memosisikan dirinya sebagai Al-Khalik Al-Mudabbir (Sang Pencipta sekaligus Pengatur). Maka, sebagai makhluknya kita wajib berpegang teguh pada hukum-hukum yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Inilah konsekuensi dari keimanan yang kita miliki, juga sekaligus bukti penghambaan kepada Sang Pencipta sehingga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.
Nash-nash syarak telah menetapkan bahwa:
Pemimpin adalah pengayom urusan masyarakat. Landasannya: “Imam/Khalifah adalah raâin (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Sehingga negara bertanggung jawab penuh terhadap berbagai urusan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan ekonomi. Islam memandang subsidi terhadap rakyat itu bukan dosa apalagi beban, tapi kewajiban. Negara justru wajib menjamin kebutuhan dasar masyarakatnya.
Perekonomian tidak dibangun dengan sistem ribawi.
Islam sesungguhnya telah mengharamkan praktik riba, baik dilakukan oleh individu, masyarakat, maupun negara. Sebagaimana ketetapan-Nya: “Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, (maka ketahuilah) bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS: Al-Baqarah: 275)
Kepemilikan terbagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki harta, tetapi Islam membatasi dan mengatur mekanisme cara perolehannya. Individu boleh saja memiliki rumah, kendaraan, tanah, dll selama tidak melanggar syariat (seperti mencuri, korupsi, menipu dll). Sedangkan dalam hal kepemilikan umum, maka individu/kelompok/swasta tidak boleh secara mutlak menguasai segala sesuatu yang terkategori kepemilikan umum, semisal: air, danau, tambang, minyak dan gas, hutan, laut, dll. Adapun kepemilikan negara, Islam mengatur bahwa harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin/masyarakat, maka pengelolaanya menjadi wewenang negara, semisal: harta faâi, kharaj, ghanimah, jizyah, gedung-gedung, fasilitas publik, dsb.
Islam mengisi kas negara dengan metode yang berbeda dengan sistem kapitalis.
Sumber pendapatan negara (Baitul Mal) dapat diperinci dari beberapa pos sebagai berikut:
a. Pos faâi dan kharaj: meliputi ghanimah, kharaj, jijyah, tanah-tanah, faâi, dan pajak.
b. Pos kepemilikan umum: meliputi minyak bumi, gas, barang tambang, listrik, danau, laut, sungai, selat, mata air, hima, hutan, padang gembalaan, dsb.
c. Pos zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, dan peternakan.
Jelas sekali, bahwa Islam berbeda dengan sistem kapitalis dalam mengisi kas negara. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Terlebih pajak ini dibebankan kepada rakyat. Tapi justru Islam akan mengoptimalkan pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara untuk menyokong kebutuhan masyarakatnya secara umum.
Jadi, tidak ada cerita swasta/asing menguasai hajat hidup orang banyak. Kalaupun ada pajak, sifatnya hanya sewaktu-waktu saja, tidak terus-menerus, ketika kas negara benar-benar kososng, dan itupun yang dipungut hanya bagi warga yang mampu saja dari klaangan muslim. Sementara warga yang kurang mampu ataupun warga nonmuslim walaupun kaya, tidak akan terkena pajak (dharibah). Inilah indahnya sistem ekonomi dalam Islam. Semoga kita semua semakin sadar bahwa Islam satu-satunya yang cocok mengatur kehidupan karena bersumber dari Zat Yang Maha Benar yaitu Allah Swt. Wallahu’alam