Oleh : Imas
(Aktivis Muslimah Penggerak Perubahan, Ciparay - Kab. Bandung.)
Kebijakan pemerintah untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) lebih besar pada1 April 2022 disarankan untuk ditunda. Alasannya rakyat kini sudah cukup menderita.
Berdasarkan Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN yang diberlakukan adalah 11%, lebih tinggi dibandingkan saat ini yaitu 10%. Kenaikan tarif ini memang tidak diberlakukan untuk semua barang dan jasa. Ada pengecualian, khususnya bahan pokok hingga berbagai jenis jasa seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Akan tetapi untuk barang seperti mie instan, pulsa, alat tulis, pakaian dan lainnya akan dikenakan tarif baru. Bukan barang pokok, namun masih bagian dari barang yang sering dikonsumsi masyarakat. Langkah ini jelas menarikperhatian banyak pihak. Apa lagi dalam kondisi sekarang dimana harga barang melejit sejak awal tahun. Ada minyak goreng, elpiji, daging yam, daging sapi, telur, cabai rawit dan lainnya. Kondisi dimana masyarakat tengah menderita. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang diputuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda.
Faisal Basri, ekonom senior, salah satu yang menolak kebijakan tersebut dijalankan. Alasan paling utama, tidak ada unsur keadilan yang selama ini sampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran. "Ini tidak menggambarkan rasa keadilan. Adilnya dimana ?,"ungkapnya saat wawancara dengan CNN TV, dikutip Jumat (25/3/2022).
Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun disaat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%. Hal tersebut, menurut Faisal jarang disampaikan pihak pemerintah. "Penurunan pajak perusahaan dari 25% ke 22%, tadinya direncanakan ke 20%, tapi akhirnya dibatalkan. Sementara untuk rakyat itu dinaikan. Rasa keadilannya yang utamanya disitu. Inikan gak peduli rakyat kecil atau rakyat kaya. Semua bayar PPN sama,"paparnya.
Alasan penolakan Faisal selanjutnya adalah perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20. Memang dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah. Akan tetapi menurutnya juga harus dilihat pendapatan negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal. Hal yang paling penting, menurut Faisal lainnya adalah kini adalah masa sulit. Pemulihan ekonomi masih terlalu dini. Konsumsi masyarakat biasanya tumbuh 5% kini cuma 2%. Masyarakat masih berupaya untuk bangkit namun ditekan akibat kenaikan harga pangan.
Pangan memang kelompok yang tidak dikenakan PPN. Akan tetapi kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, alat tulis, seragam sekolah, hingga mie instan akan terdampak. "Kelihatan sekali masyarakat daya belinya parah, tercermin dari membela-belain diri untuk berjam-jam antre memperoleh minyak goreng. Itukan sepertinya kepepet sekali. Jadi sedikit kenaikan itu sudah amblas konsumsi mereka. Rasanya dari sini kurang bijak untuk menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang masih lemah," pangkasnya.
Dalam sistem demokrasi, pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan lewat pajak. Pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sementara pendapatan dari sektor SDA ditiadakan. Menaikkan tarif pajak dianggap win-win solution mengatasi krisis keuangan negara. Sementara, dalam Khilafah, jika terjadi defisit anggaran yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim dalam bentuk pajak yang sifatnya sementara atau pinjaman. Khalifah akan menerapkan pajak pada masyarakat yang kaya.
Artinya, pajak tidak dibebankan pada masyarakat luas. Menurut Abdul Qadim Zalum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran, Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kaum muslim. Masyarakat yang kaya akan membayar pajak untuk belanja yang henda kdibiayai baitul mal—sementara baitul mal dalam kekosongan keuangan—yaitu diantaranya pembiayaan jihad, industri militer, pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, pembiayaan gaji orang yang diupah negara deperti tentara, pegawai, hakim, dan guru. Pun, pembiayaan untuk kemaslahatan yang dibutuhkan seperti bencana, gempa bumi, longsor, danbanjir.
Selain menerapkan pajak bagi orang kaya, Khalifah juga bisa melakukan pinjaman. Meminjam dengan cara mempercepat pembayaran zakat dan kharaj bagi warga Khilafah, yang nantinya kewajiban mereka yang jatuh tempo akan dikurangi sesuai dengan utang negara kepadamereka.
Negarapun mendorong rakyatnya untuk memberikan bantuan untuk membantu negara menangani masalah keuangan. Hal itu dilakukan rakyat dengan penuh ketaatan dan kelapangan hati. Khilafah akan berupaya seoptimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatanya ini harta anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, dan harta sedekah/zakat.
Khalifah sangat memahami hadis Rasulullah SAW., “Barangsiapa melepaskan kesusahan dunawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.”(HRMuslim). Menjadi tanggungjawab Khalifah untuk melepaskan kesusahan rakyatnya. Sebagai ganjaran, Allah akan memudahkan urusannya didunia dan akhirat.
Wallahu a'lam bish shawab.