Oleh : Nurfillah Rahayu
( Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Belum lama, masyarakat dibuat panik dengan kenaikan harga minyak goreng. Kini PPN pun pemerintah naikan. Dilansir dari cnbcindonesia.com (25 Maret 2021) Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang diputuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda.
Faisal Basri, ekonom senior, salah satu yang menolak kebijakan tersebut dijalankan. Alasan paling utama, tidak ada unsur keadilan yang selama ini disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran. Ini tidak menggambarkan rasa keadilan. Adilnya dimana?,” ungkapnya saat wawancara dengan CNN TV, dikutip Jumat (25/3/2022)
Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun, di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%. Hal tersebut, menurut Faisal jarang disampaikan pihak pemerintah. Alasan penolakan Faisal selanjutnya adalah perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20. Memang dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah. Akan tetapi menurutnya juga harus dilihat pendapatan negara tersebut.
Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.
“Dari 10% ke 11% itu kan berarti naik 10% itu tergolong besar. Di Indonesia sangat besar dibandingkan dengan daya beli masyarakatnya. Berbeda dengan (kenaikan tarif) 10% Malaysia itu relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan rata-rata warga rakyat Malaysia,” terang Faisal.
Faisal juga menyoroti tingkat produktivitas penarikan PPN yang rendah oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Artinya masih banyak pihak yang harusnya menyetorkan PPN, akan tetapi tidak tertangkap oleh DJP.
“Ini ketidakmampuan pemerintah untuk menggali PPN. Misalnya dari kegiatan ekonomi baru, digital. Tolong itunya ditingkatkan. Supaya produktivitas itu kayak Kamboja, Thailand dan Vietnam,” ungkapnya.
Hal yang paling penting, menurut Faisal lainnya adalah kini adalah masa sulit. Pemulihan ekonomi masih terlalu dini. Konsumsi masyarakat biasanya tumbuh 5% kini Cuma 2%. Masyarakat masih berupaya untuk bangkit namun ditekan akibat kenaikan harga pangan.
Pangan memang kelompok yang tidak dikenakan PPN. Akan tetapi kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, alat tulis, seragam sekolah, hingga mie instan akan terdampak.
“Kelihatan sekali masyarakat daya belinya parah, tercermin dari membela-belain diri untuk berjam-jam antre memperoleh minyak goreng. Itu kan sepertinya kepepet sekali. Jadi sedikit kenaikan itu sudah amblas konsumsi mereka. Rasanya dari sini kurang bijak untuk menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang masih lemah,” pungkasnya.
“Penurunan pajak perusahaan dari 25 ke 22%, tadinya direncanakan ke 20%, tapi akhirnya dibatalkan. Sementara untuk rakyat itu dinaikan. Rasa keadilannya yang utamanya di situ. Ini kan gak peduli rakyat kecil atau rakyat kaya. Semua bayar PPN sama,” paparnya.-
Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.
Inilah gambaran nyata sistem ekonomi kapitalis, bukan sebagai periayah tapi jadi pemalak. Dalam Islam jelas tidak dibenarkan.
Pentingnya penerapan Islam secara kaffah jelas sekali. Sistem islam melindungi umatnya dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai kebutuhan umat terutama yang prioritas dijamin negara.
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa saIIam Yang berbunyi,
“Tidak masuk surga para penarik pajak” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sementara itu, di antara ulama yang mengharamkan negara menarik pajak adalah Al Mawardi dan Abu Ya’la. Dalil pendapat yang mengharamkan, firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” (An Nisaa ayat 29).
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain” (HR. Bukhari Muslim).
Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak. Dan mukus telah dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat, dan pajak tidak termasuk bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan dari harta. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan genting, saat akan perang tidak pernah menarik pajak. Beliau lebih memilih cara berhutang kepada sahabat yang kaya, dan menarik zakat sebelum jatuh tempo, serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan menghadang musuh.
Pajak tidak pernah diterapkan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi penguasa atau khalifah di masa-masa keemasan Islam, maka menarik pajak adalah suatu kebijakan yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Wallahua'lam Bishowab