Oleh: Hamnah B. Lin
Jeritan rakyat akibat tekanan ekonomi yang kian berat rasanya tak sampai terdengar sampai istana, buktinya pemerintah tetap membuat kebijakan - kebijakan yang terus menyesakkan dada. Mulai dari naiknya harga minyak goreng dua kali lipat, LPG juga naik, kedelai, hingga PPN menjadi 11%, kini pemerintah menaikkan harga pertamax.
Kami lansir dari CNCBIndonesia tanggal 1/4/2022, PT Pertamina (Persero) telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 92 atau Pertamax pada hari Jumat (1/4/2022) ini dari yang sebelumnya Rp 9.000 - Rp 9.400 per liter menjadi Rp 12.500 - Rp 13.000 per liternya. Bersamaan dengan itu, muncul adanya kehabisan stok bensin Pertalite di sejumlah SPBU karena meningkatnya permintaan.
Menjawab adanya seretnya pasokan di sejumlah SPBU, Pjs Corporate Secretari PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menegaskan bahwa stok Pertalite untuk SPBU aman, pihaknya sudah kembali menyuplai mobil tangki berisi Pertalite ke beberapa SPBU.
"Harapannya, segera terurai. Saya enggak mengerti juga, kenapa di BSD-Bintaro tiba-tiba konsumsinya tinggi, tapi kita enggak ada pembatasan ya. Artinya, berapa pun yang diminta kita akan guyur ini," ujar Irto kepada CNBC Indonesia.
PT Pertamina Patra Niaga mengatakan kenaikan Pertamax dipicu harga minyak dunia yang melambung sehingga mendorong harga minyak mentah Indonesia pun mencapai mencapai US$114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24/3/2022.
Kondisi itu dapat menekan keuangan Pertamina sehingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi tidak terelakkan. Kenaikan harga Pertamax yang ditetapkan saat ini pun disebut masih lebih rendah dibandingkan harga seharusnya yang bisa mencapai Rp16.000 per liter.
Alasan naiknya minyak mentah dunia yang berimbas pada kenaikan harga BBM nonsubsidi ini nyatanya menuai kritik keras berbagai pihak, salah satunya ekonom senior Rizal Ramli. Menurut Rizal, kenaikan harga tersebut membuktikan pemerintah tidak mampu mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia. Rizal lantas membandingkan BBM dengan jenis research octane number (RON) yang sama di Malaysia masih dijual dengan harga Rp8.500, sedangkan Indonesia Rp12.500 per liter.(JPNN, 1/4/2022).
Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero) Irto Ginting mengeklaim kenaikan tersebut sudah mempertimbangkan daya beli masyarakat. Pertamax dianggap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Penyesuaian harga ini menurutnya masih jauh di bawah nilai keekonomiannya. (Suara, 31/3/2022).
Pertimbangan Pertamina ini ternyata tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ekonom INDEF Eko Listyanto mengatakan bahwa kenaikan harga Pertamax cukup vital karena momentumnya berbarengan dengan kenaikan harga pangan dan PPN. Situasi ini jelas cukup memukul masyarakat dan akan makin menurunkan daya beli masyarakat. Akibat lainnya adalah, pertalite akan makin langka karena masyarakat akan beralih ke jenis ini. Buktinya di berbagai SPBU di wilayah kian langka, kalau sudah begini rakyat lagi yang gigut jari dan makin merintih.
Mengapa kenaikan minyak dunia berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia? Ini karena Indonesia tergantung pada impor minyak mentah dunia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pertanyaannya, mengapa impor, padahal Indonesia adalah negara penghasil bahkan pengekspor migas?
Pemerintah, melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas) beralasan, pemerintah harus mengimpor minyak mentah hingga 500.000 barel minyak sebab produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari (bph). Sementara itu, konsumsi mencapai 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph sehingga terpaksa impor. (ekonomi.bisnis, 24/2/2022)
Alasan produksi yang tidak mencukupi pun selain karena sumur-sumur migas yang sudah tua, menurut pakar ekonomi Islam Arim Nasim, adalah karena hingga 85% produksi minyak di Indonesia dikuasai oleh swasta. Artinya, negara hanya mengelola 15% sektor hulu. Sudah pasti, jika dikelola swasta, produksi tidak melihat seberapa banyak kebutuhannya, melainkan seberapa banyak dapat menguntungkan.
Tidak heran jika banyak minyak produksi dalam negeri malah diekspor dengan alasan keterbatasan kilang minyak dalam negeri. Kapasitas kilang minyak kita bisa terbatas juga karena margin pada bisnis ini kecil sehingga investor kurang berminat pada bisnis pembangunan kilang minyak.
Selain itu, APBN selalu defisit sehingga pembangunan kilang tidak menjadi prioritas, apalagi sering terjadi kebakaran tangki kilang minyak milik Pertamina menyebabkan makin menurunkan produksi. Akhirnya, impor minyak menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Jika kita melihat dengan adil, hal mendasar persoalan minyak sejatinya terletak pada paradigma pengelolaan negara yang mendasarkan pada sistem ekonomi neoliberalisme. Sistem ini menyerahkan seluruh urusan umat pada swasta dan menempatkan negara sebatas regulator. Walhasil, kebutuhan umat terhadap adanya jalan dan jembatan diserahkan pada swasta, tentu swasta yang profit oriented akan membangun jalan atau jembatan di tempat yang menghasilkan materi (sentra ekonomi). Inilah yang menyebabkan ketimpangan yang amat sangat antara pembangunan desa dan kota.
Begitu pun persoalan kilang minyak. Kebutuhan rakyat terhadap BBM, diserahkan pada swasta. Dari hulu hingga hilir, semua diswastanisasi. Semakin terlihat neolibnya saat ada wacana penghapusan subsidi pada semua jenis BBM. Sungguh hal demikian membebani rakyat di tengah kondisi kemiskinan yang meningkat pesat.
Kami tegaskan kembali, inilah akibat dari diterapkannya kapitalisme di negeri ini. Asas manfaat saat menjadi penguasa sungguh mengakar, tanggungjawab sebagai pemimpin tak pernah dijalankan, pemimpin sebagai pelayan daan pelindung sepertinya tak pernah dipahami, tak ayal rakyat hanya jadi tumbal kerakusan penguasa.
Sungguh jauh berbeda dengan Islam, dalam APBN Khilafah yaitu Baitul Mal akan kuat karena memiliki pemasukan yang besar dari Kharaj fai, shadaqoh dan pemilikan umum. Haramnya swasta mengelola kepemilikan umum akan menjadikan pemasukan Baitul Mal melimpah. Begitu pun pengeluaran akan berfokus pada umat, sehingga skala prioritas terletak pada terpenuhinya kebutuhan umat.
Selain itu, BBM dalam konteks ekonomi termasuk barang publik yang wajib dikelola negara. Jika tidak, akan berpotensi terciptanya monopoli. Sebabnya, BBM merupakan barang publik yang bersifat inelastis sempurna. Artinya, umat sangat bergantung kehidupannya dengan BBM. Jika dikelola swasta, swasta akan seenaknya menentukan harga. BBM dalam konteks syariat Islam, maka BBM terkategori kepemilikan umum. Sehingga haram untuk dimiliki swasta. Negaralah sebagai pihak pengelola yang hasilnya akan diberikan pada umat.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Jangan ragu lagi, bahwa hanya Islam yang mampu menyolusi semua permasalahan termasuk bagaimana pengelolaan bahan bakar minyak ini. Terapkan Islam kaffah dalam bingkai khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam.