Oleh Citra Salsabila
(Pegiat Literasi)
Perempuan adalah sosok terkuat dalam setiap peradaban. Terus belajar dan berproses menjadi cerdas, untuk melahirkan generasi yang cermelang. Akan menjadi teladan bagi anak-anaknya, sehingga perilakunya akan selalu ditiru. Itulah peran seorang perempuan.
Maka, sudah terbiasa setiap tanggal 21 April diperingati Hari Kartini. Dimana perempuan dituntut bisa mandiri, cerdas, dan berdedikasi tinggi. Terutama di era digitalisasi saat ini, semua dituntut harus berdaya, tidak berpangku tangan.
Semboyan yang seringkali muncul, "Habis Gelap, Terbitlah Terang" (R.A. Kartini). Ini diartikan bahwa seorang perempuan bisa berkarya dan meraih pendidikan yang tinggi. Sama seperti halnya laki-laki yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Pada dasarnya, ungkapan tersebut tidak salah, tetapi perlu dimaknai secara mendalam. Artinya ada penelaah dalam memahami makna tersebut. Karena peran perempuan memang begitu penting dalam mencerdaskan anak-anaknya.
Tetapi, akibat masa pandemi, banyak sekali perempuan yang harus keluar rumah untuk bekerja. Apalagi didukung dengan arus digitalisasi, semakin memudahkan kaum perempuan untuk menghasilkan materi. Ini sesuai dengan program Kementerian Koperasi dan UKM, yang memerlukan peran digitalisasi dalam mengembangkan UMKM di Indonesia dalam hal pemasaran, yang kebanyakannya digeluti oleh kaum perempuan.
Faktanya, sekitar 65 juta unit UMKM di Indonesia, jika berdasarkan usahanya, 34% usaha menengah dijalankan perempuan. Begitu pun 50,6% usaha kecil dan 52,9% usaha mikro. Maka, tak diragukan lagi jika peran perempuan begitu besar terhadap pemulihan ekonomi.
Namun, benarkah demikian? Ternyata belum tentu benar. Karena jika harus mengandalkan perempuan untuk mengembangkan usaha demi meraih materi, tentu tidak ideal. Sebab, tugas utamanya bukanlah mencari materi, melainkan mendidik anak-anak dan pengatur rumah tangga.
Sebab, kewajiban mencari materi (baca: nafkah) adalah tugas seorang laki-laki. Ketika seorang perempuan harus banting tulang bekerja, itu sudah keluar dari fitrahnya. Maka, sewajarnya perempuan harus tetap berada dalam fitrahnya.
Dalam Islam, adanya teknologi dengan basis apapun tetap harus sesuai dengan rambu-rambu keimanan. Karena Islam tampil sebagai ideologi dalam mengelola teknologi digital. Tentu ini tidak boleh lepas dari peran agung manusia selaku khalifatu fil ardh.
Akhirnya, antara perempuan dan digitalisasi haruslah digabungkan sesuai kebutuhan dan keimanan. Karena teknologi bisa digunakan untuk mempermudah aktivitas kehidupan. Namun, tetap tidak berlebihan dalam penggunaannya dan tidak melanggar hukum Allah Swt. Artinya, perempuan boleh berdaya, boleh berwirausaha, boleh meraih pendidikan tertinggi, selama kewajibannya terlaksana dengan baik dan maksimal.
Sehingga, semboyan R.A. Kartini bisa dijadikan pedoman, dengan syarat setiap perempuan mengetahui rambu-rambunya. Terutama tidak mendahulukan yang mubah (boleh), selama yang wajib belum tertunaikan. Perempuan akan tetap boleh berkarya sesuai dengan hobinya, namun tidak keluar dari fitrahnya.
Sungguh ketika aturan Islam diterapkan, maka akan menghormat peran perempuan dengan tidak mewajibkannya mencari nafkah. Perempuan akan tetap diberikan ruang dalam publik. Bisa mempelajari dan menggunakan teknologi dengan cara yang telah ditetapkan syara.
Wallahu'alam bishashawab.