Sumber gambar: intisari.grid.id
Oleh: Ummu Diar
Sebagai aturan sempurna dari Allah, Islam mendudukkan wanita pada posisi agung lagi mulia. Islam sama sekali tidak menempatkan wanita di kelas kedua setelah laki-laki. Keduanya dipandang sama dalam hal keimanan, kewajiban tunduk pada aturan Allah, kesempatan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan peluang meraih pahala (lihat surat An-nahl ayat 97), hingga peluang masuk surga (lihat surat An-nisaa ayat 124).
Kemulian wanita ini diberikan sejak masih kecil hingga dewasa. Ketika masih anak-anak, tanggung jawab atas mereka ada di pihak orang tuanya. Pengasuhan atas anak perempuan pun berbalas surga. "Siapa yang memiliki anak perempuan, dan tidak membunuhnya dengan dikubur hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak lebih mengutamakan anak laki-laki, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ahmad)
Ketika anak perempuan beranjak besar dan menjadi seorang istri, maka sifat saleha nya menjadi kebaikan bagi suaminya. Rasullulah pernah bersabda kepada Umar bin Khattab: "Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baiknya perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri saleha yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintahkan akan menaatinya, dan bila ia pergi si istri akan menjaga dirinya." (HR. Abu Dawud)
Hingga ketika sudah beranjak posisi dari istri menjadi seorang ibu, Islam tetap memuliakan kedudukan perempuan dengan mengistilahkan surga berada di bawah telapak kakinya. Bakti, kepatuhan, dan penghormatan anak kepada ibu adalah salah satu jalan mencapai surga.
Suatu ketika Muawiyah bin Jahimah mendatangi Rasul dan bertanya, "Wahai Rasulullah aku hendak berperang, namun aku datang untuk berkonsultasi. 'Apakah kamu memiliki ini?', tanya Rasul. Shahabat tadi menjawab punya. Rasul bersabda: 'Berbaktilah kepadanya, karena surga itu di bawah kakinya (fainnal jannata tahta rijliha)." (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, At-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir yang dikuatkan Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi).
Penekanan bakti kepada ibu ini mengisyaratkan bahwa perempuan yang telah menjadi ibu memiliki keistimewaan peran, yang lantaran itu ia mendapatkan kedudukan mulia. Peran tersebut adalah sebagai ummun wa rabbatul bait, menejer rumah tangga. Yang pada saat yang sama ia menjadi pendidik utama bagi keturunannya.
Peran pendidik ini tentu bukan isapan jempol, sebab seorang ibu bahkan mengerjakan tugas ini sejak anak masih dalam kandungan. Ketika anak dilahirkan, naluri kasih sayang akan membimbing ibu untuk mengasuh, merawat, dan membesarkan dengan sepenuh hati. Dalam kondisi apapun kaum ibu rela berkorban untuk kebaikan buah hatinya. Sentuhan kasih sayang dan perhatian ibu adalah yang utama.
Namun rupanya keumuman peran ibu tersebut ada banyak pengecualian belakangan ini. Dikabarkan seorang ibu justru memiliki sifat yang berkebalikan dengan keutamaan peran yang dimilikinya. Seorang ibu di Jawa Tengah berinisial KU tega menggorok leher ketiga buah hatinya. Sebelumnya, di Barito Utara, ibu AR membunuh anaknya yang berusia dua tahun. Ibu Y di Pekanbaru bahkan membunuh anaknya yang masih berusia 9 bulan. [Lihat ¹]
Tentu muncul pertanyaan, mengapa sampai tega? Kalau mereka depresi dan menunjukkan gejala kejiwaan, apa yang menjadi pemicunya? Kejadian yang tidak hanya sekali dan satu tempat ini tentu tidak menutup kemungkinan bahwa hal seperti sejenis tak akan terulang lagi bukan?
Di sadari atau tidak, ada sebagian orang yang memang tidak mudah menjalankan peran utamanya sebagai ibu. Beban ekonomi lah yang diduga kuat menjadi pemicunya. Ketidakcukupan dari sisi ekonomi membuat ibu tak jarang harus pecah konsentrasi, antara menjalani peran utama yang menjadi fitrahnya sekaligus menjadi penyelamat keuangan keluarga.
Bukankah ada suami yang menafkahi? Iya pada sebagian keluarga. Namun pada sebagian yang lain, berapa banyak yang suaminya kena PHK? Yang berusaha mandiri tapi tak kunjung mencukupi, yang berusaha mencari lowongan kerja tapi kalah saing dengan kualifikasi lainnya?
Dengan kondisi yang terbatas, sementara kebutuhan hidup beranjak naik sulit dijangkau, bukan mustahil akan menjadi beban pemicu depresinya ibu. Sehingga ujungnya mereka melakukan perbuatan yang diluar naluri fitrahnya.
Problema seperti ini tentu sulit jika dipecahkan personal ibu dan suaminya saja. Sebab problem mereka berkaitan dengan urusan ekonomi, yang urusan ini berkaitan dengan kebijakan aspek lainnya. Oleh karena itu untuk mencegah kasus berulang, perlu dukungan sistemik dari semuanya.
Secara individu antara suami istri perlu mengkondisikan imannya, sehingga beban hidup apapun tak sampai mengorbankan nyawa orang terdekatnya. Secara komunal, masyarakat perlu lebih aktif untuk peduli, minimal mencegah kemungkinan terburuk di sekitarnya.
Namun kemampuan menopang masyarakat sejatinya juga terbatas, sebab tidak sedikit juga di antara mereka yang terimbas kondisi berarti ekonomi.
Maka tidak bisa tidak, jalur penopang dan pendukung untuk menjaga fitrah ibu memerlukan tangan negara. Sebab elemen-elemen penting yang bisa menjamin ekonomi kondusif hanya dimiliki oleh negara. Negara lah yang berkemampuan menciptakan kesejahteraan riil di masyarakat, menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki dengan kualitas gaji yang memadai.
Jika hal itu terealisasi, maka perempuan akan bisa fokus dengan peran utamanya. Sebab di tangan merekalah generasi penerus bangsa pertama kali dicetak pondasi karakternya. Namun, mungkinkan kolaborasi sistemik itu mudah diwujudkan dalam kondisi ekonomi liberal saat ini? Tak heran jika banyak yang merekomendasikan kondisi alternatif Islam, sebab sejarahnya tercatat menjamin kesejahteraan dengan gemilang.[]
Referensi:
1. https://nasional.okezone.com/read/2022/03/23/337/2566633/4-kasus-orangtua-bunuh-anak-terakhir-ibu-gorok-leher-3-anaknya