Oleh : Rosmawati
(Pengamat Kebijakan Publik)
Minyak goreng langka, rakyat sengsara, para ibu-ibu rela mengantri berjam-jam sampai ada yang meninggal. Namun ketika Harga Eceran Tetap (HET) dicabut, harga minyak goreng langsung melambung tinggi dan saat itu juga minyak melimpah memenuhi ritel-ritel tradisonal maupun modern. Yang menjadi pertanyaannya kemana saja minyak goreng selama ini?
Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), menuturkan bahwa sistem mekanisme industri minyak goreng sudah lama ditenggarai sebagai pasar oligopoli. Pasar oligopoli merupakan salah satu bentuk persaingan yang bisa memanipulasi harga pasar oleh para produsen.
Direktur IDEAS menyebutkan dengan adanya pasar oligopoli tersebut, pihak produsen minyak goreng akan membentuk kartel untuk menentukan harga minyak. Apabila harga Crude Palm Oil (CPO) dunia naik, produsen pun sepakat untuk segera menyesuaikan harga minyak domestik dengan harga CPO dunia. Namun sebaliknya, ketika harga CPO dunia turun, harga minyak lokal tidak mengalami penurunan yang signifikan. (Kumparan.com)
Mahal dan langkanya minyak goreng membuat masyarakat menjerit, diperparah lagi dengan sulitnya mendapatkan bahan kebutuhan pokok tersebut. Kalaupun ada harganya cukup tinggi sekitar 40-50 ribu untuk kemasan yang 2 liter. Beberapa waktu lalu, pemerintah berusaha menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan HET. Yang mana minyak curah ditetapkan dengan harga Rp 11.500, untuk kemasan sederhana Rp 13.500 dan kemasan premium Rp 14.000. Ternyata pada realitasnya tidak membuahkan hasil, tetap saja harga minyak goreng mahal.
Sementara untuk rata-rata harga minyak curah ditingkat nasional, berdasarkan data SP2KP kementrian perdagangan yang dikeluarkan pada 11 maret 2022 seharga Rp 16.037, kemasan sederhana Rp 16.401, dan kemasan premium Rp 18.043. Tentunya harga minyak goreng lebih tinggi dibandingkan tingkat harga pada akhir Februari.
Sementara untuk harga eceran yang dijual dimasyarakat, ada yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata nasional tersebut. Bahkan jika kita membeli minyak goreng di toko ritel modern harga per-liternya bisa mencapai Rp 25.000 untuk kemasan premium.
Jika dilihat dari potensi sumber daya alam, yang mana diukur dengan luasnya perkebunan kelapa sawit sebagai bahan dasar minyak goreng. Maka negeri ini merupakan penghasil CPO terbesar di mata dunia. Hal ini sungguh memprihatinkan, mengingat negeri ini memiliki kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) mencapai 720 ribu ton. Yang mana dengan besaran tersebut Menteri Perdagangan berani mengklaim bisa membanjiri pasar miyak goreng lokal. Yang pada nyatanya ternyata tidak bisa berjalan dengan efektif, minyak goreng tetap saja langka dan mahal saat ini.
Segala permasalahan ini bagaikan benang kusut yang harus ditelusuri dan dicari titik kusutnya. Baru kemudian diurai titik pusatnya agar terurai semua permasalahan yang ada. Semua hal itu harus dilakukan dengan segera, sebab semakin lama dibiarkan maka titik kusutnya akan melebar dan menyebabkan bencana yang lebih besar. Dan semua ini adalah tugas negara untuk mengerjakannya, bukan para pengusaha apalagi rakyat biasa.
Sebenarnya, beberapa waktu lalu saat rapat kerja dengan DPR, Menteri Perdagangan (Mendag) menyampaikan keluhannya terkait persoalan minyak goreng ini. Kemendag mengungkapkan bahwa kelangkaan minyak tersebut tidak murni akibat kurangnya produksi dalam negeri, melainkan adanya tingkah polah para mafia yang rakus dan jahat mempermainkan harga.
Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan tersebut. Pendapatnya ditanggapi oleh DPR, dengan dalih pemerintah nyatanya lemah melawan para mafia minyak goreng dan seperti "macan ompong" yang tidak ada wibawanya lagi. Karena dengan mudahnya kartel bisa menetapkan harga pasar sekehendaknya.
Alih-alih menjamin kebutuhan rakyat, pemangku kekuasaan justru lebih memanjakan para kapital (pengusaha). Mereka kini semakin menggurita menguasai pasar. Lagi-lagi atas nama asas manfaat, tak apa rakyat kesulitan asalkan ada keuntungan yang bisa diambil.
Merekalah yang bermodal besar yang pada faktanya mampu menguasai hajat hidup orang banyak. Demikianlah watak dari sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini. Hanya menghasilkan penguasa lemah, dan tunduk pada kepentingan para pemodal hingga abai mengurusi kebutuhan rakyatnya, menimbulkan kezaliman serta ketidakadilan.
Tentunya perihal diatas sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Kepemimpinan adalah sebuah tanggung jawab yang amat besar, dan seorang pemimpin wajib mengurusi kebutuhan rakyatnya. Dalam sistem perdagangan Islam tidak ada istilah patokan harga, baik atas ataupun bawah. Haram hukumnya bagi pemimpin untuk menetapkan satu harga tertentu pada barang yang diperjualbelikan (tas'ir).
Rasulullah saw telah melarang siapapun yang melakukan patokan harga ketika harga barang tersebut melonjak naik. Terkisah pada waktu itu masyarakat meminta Rasul untuk menetapkan harga, namun beliau menolak. Artinya beliau tidak mau melakukan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Seperti hadist yang diriwayatkan dibawah ini :
"Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; yang Maha pemberi rezeki : dan yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntunku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta". (HR. Ahmad)
Disamping itu juga seorang Khalifah akan mampu mengatasi kelangkaan bahan pangan. Dengan cara menambah pasokan pangan, apabila suplai ketersedian pangan dari satu wilayah tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Maka khalifah akan mengambil persediaan dari daerah yang lain. Jadi tidak mengandalkan dari satu wilayah saja, sehingga pendistribusian tetap berjalan.
Selain itu negara melarang untuk melakukan penimbunan barang, oleh karena itu negara menyediakan sistem pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penimbunan. Dan apabila hal yang demikian terjadi, Khalifah akan memberikan sanksi yang tegas kepada oknum penimbun tersebut. Dan mereka harus melepaskan barang yang ditimbunnya ke pasar agar persediaan barang tetap terpenuhi dan harga kembali stabil. Sehingga tidak terjadi lagi monopoli dan oligopoli dalam perdagangan.
Dan tak kalah pentingnya, negara berperan penuh atas pengelolaan sumber daya alam seperti perkebunan sawit. Sehingga tidak ada lagi campur tangan swasta yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengadopsi paham kapitalis, dimana berbagai komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat justru dijual kepada perusahaan swasta guna keuntungan yang sedikit. Alhasil, masyarakat pun tidak bisa mendapatkan bahan pokok tersebut.
Semua hasil SDA sepenuhnya akan diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat. Adapun boleh untuk dijual sepanjang masyarakat tidak berada dalam kondisi kekurangan. Jadi bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat haruslah tersedia. Inilah buah yang akan bisa diambil, apabila sistem Islam benar-benar diterapkan dari segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, kita butuh solusi yang bisa memberikan kemaslahatan untuk umat dengan terus berjuang melakukan perubahan yang baik menuju kemenangan ditegakkannya kembali sistem Islam.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini