Oleh: Afid
Sesuai yang dikutip dari kumparan bisnis (13/03/2022), Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) adanya oligopoli mengenai harga eceran minyak goreng di pasaran yang ditentukan oleh produsen minyak. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Yusuf Wibisono sebagai Direktur IDEAS bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah menghukum 20 produsen minyak goreng karena terbukti membentuk kartel untuk mengatur harga minyak goreng.
Pada pertengahan Februari pemerintah mensubsidi minyak, adanya subsidi minyak goreng sehingga eceran menjadi 14 rb/liter. Minyak subsidi hanya terbatas sehingga pasar swalayan yang menjual minyak subsidi langsung ludes dalam sekejap. Meski pemerintah telah menghimbau agar tidak terjadi penimbunan barang pada produsen dan memberikan subsidi minyak. Namun, produsen dan distributor tidak mendistribusikan minyak ke pedagang eceran, alih-alih mereka malah menimbun dengan dalih alasan subsidi pemerintah yang tak kunjung turun.
Hal ini menyebabkan tetap terjadi kelangkaan minyak goreng di masyarakat. Sebagian pedagang eceran yang tidak mendapatkan minyak subsidi, tetap menjual dengan harga normal. Bahkan, ada juga pedagang kecil yang ikut menimbun juga karena mereka tidak mau rugi jika sewaktu-waktu harga minyak naik.
Pertengahahan Maret subsidi minyak dicabut. Hal yang mengejutkan adalah meski tak ada lagi subsidi minyak namun minyak di pasaran mudah dijumpai baik di pasar modern maupun pasar tradisional dengan Harga Eceran Tertinggi di pasaran mencapai 25 rb/liter. Dengan pencabutan penetapan HET minyak goreng, tentunya akan menyebabkan rakyat kecil semakin menderita sementara kapitalis semakin berjaya. Contohnya penjual gorengan yang merasakan dampak kebijakan tersebut sebab masih terjadi penurunan laba hingga 50 persen, masyarakat kecilpun menjerit dengan harga minyak melejit, sementara himpitan ekonomi kian melilit.
Hal ini terlihat jelas bahwa telah terjadi penimbunan minyak yang menyebabkan kelangkaan oleh pihak produsen. Adanya oligopoli minyak, menyebabkan yang menentukan harga pasaran minyak di pasaran bukanlah negera tetapi produsen minyak yang memiliki stok barang melimpah. Mereka memainkan harga pasaran mengacu pada harga CPO dunia. Ketika harga CPO dunia naik, harga minyak goreng akan naik pula. Sebaliknya, apabila harga CPO dunia turun harga minyak goreng domestik tidak turun secara signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan IDEAS yang menemukan tidak adanya transparansi penentuan harga minyak goreng domestik dari pabrik dengan menyamarkan harga real dari CPO.
Dalam rapat kerja dengan DPR pada Kamis (17/03/2022), Menteri Dalam Negeri M Lutfi melontarkan pernyataan kontradiktif bahwa pemerintah mengakui bahwa pemerintah tidak bisa mengontrol harga pasar akibat sifat manusia yang rakus dan jahat. Namun pemerintah menolak anggapan bahwa pemerintah menyerah pada pengusaha. Apapun dalih pemerintah, DPR menganggap bahwa pemerintah sudah hilang wibawanya lantaran kartel dengan gampangnya mendikte harga pasaran. Mendag Muhammad Lutfi menyampaikan permohonan maaf karena tidak bisa mengontrol sifat manusia yang rakus dan jahat. Menurutnya, ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Kemendag mengklaim telah mendistribusikan minyak goreng hasil kebijakan DMO dan DPO. selain itu, produksi minyak cukup aman, kelangkaan minyak goreng terjadi karena ulah spekulan dan mafia. Seharusnya bencana minyak goreng tidak terjadi di indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pemerintah telah menjalankan kebijakan DMO dan DPO, kebijakan mengenai pasokan minyak goreng dengan mengepul sekitar 720.612 ton minyak sawit sesuai yang dilansir pada halaman bisnis.com pada jumat (18/03). Fakta dilapangan sangat mengejutkan, banyak pasar dan pusat belanja yang tak memiliki minyak goreng menyebabkan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.
Direktur Jenderal Menteri Perdagangan Oke Nurwan, KPPU mencatat bahwa harga minyak goreng di indonesia tidak berbanding lurus mengikuti harga minyak sawit mentah (CPO) internasional. Kita tahu indonesia adalah negara eksportir minyak sawit pada tahun 2020. Direktur perdagangan, Oke Nurwan menyatakan kebutuhan minyak goreng domestik sebesar 5,06 jutas ton/tahun. Sedangkan produksi minyak sawit mencapai 8,02 juta/tahun. Dengan demikian tidak seharusnya terjadi kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di negara ini. Namun, kita tahu fakta dilapangan menunjukkan berbeda. Lalu apa penyebab hal ini bisa terjadi ??
Hal ini tidak lepas dari pangkal sistem ekonomi kapitalis yang digunakan di negara ini dengan pemilik modal(kapitalis) itulah yang selalu menguasai sumber daya alam milik rakyat. Mereka menguasai segala hal di berbagai bidang kehidupan sampai segala kebutuhan pokok rakyat dan pelayanan publik. Para kapitalis inilah yang menentukan harga pasaran.
Fakta dilapangan menunjukkan para produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan CPO sehingga produsen minyak dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar dalam negeri yang terkorelasi dengan harga pasar internasional. Karena produksi minyak goreng dikendalikan oleh swasta, maka mudah bagi mereka melakukan penimbunan. Mereka menutup mata dengan keadaan rakyat kecil sekitar yang menderita dan putus asa dengan stok minyak yang langka. Mereka baru mengeluarkan stok minyak mereka ketika HET minyak dicabut pemerintah sehingga akan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Hal inilah menunjukkan oligopoli dimana hanya segelintir perusahaan yang menguasai pasar sehingga harga ditentukan oleh produsen yang dominan. Negara dalam sistem kapitalis hanya sebagai regulator, sehingga tak mengejutkan jika mendag tak berdaya menghadapai para kapitalis meski terdapat undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang buatan manusia inilah dapat diubah bahkan dibeli oleh kapitalis untuk melanggengkan kekuasaannya. Inilah kedzaliman sistem kapitalis dalam mengurus kebutuhan rakyat.
Sangat jauh berbeda dengan dengan sistem Khilafah Islam dalam mengurus kebutuhan rakyat. Dalam islam Negara sebagai pengurus kebutuhan rakyat, segalanya dikendalikan oleh negara bukan swasta. Khilafah selalu memastikan ketersediaan bahan baku (CPO) yang cukup dalam negeri baik dari keersediaan bahan baku, lahan yang digunakan, proses produksinya sampai proses distribusi. Pengaturan CPO khilafah tidak mengikuti mekanisme pasar internasional, dikelola sendiri untuk memenuhi hidup rakyat. Sehingga menutup celah para kapitalis untuk memainkan kebutuhan rakyat di sektor produksi.
Dalam distribusi di pasaran Khilafah tidak mematok harga sesuai hadits yang disabdakan Rasulullah, “Allah-Lah Dzat Yang Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan Rezeki, Memberi Rezeki, dan Menentukan Harga.”(HR. Ahmad dari Anas). Sehingga mekanisme barang dalam pasar dibiarkan mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Persaingan ini secara alamiah akan menjadikan harga stabil. Jika terjadi kenaikan harga barang karena penawaran kurang sementara permintaan yang besa maka negara akan melakukan interverensi pasar dengan menambah penawaran barang sehingga ketersediaan barang tetap stabil. Itulah cara khilafah agar kebutuhan rakyat dapat terpenuhi secara optimal.
Sehingga tidak ada alasan bagi kita semua, untuk tetap mempertahankan sistem kapitalis yang terbukti rapuh dalam memberikan segala solusi umat. Semoga kita istiqomah berada pada jalan kebenaran memperjuangkan tegaknya sistem yang memberikan kesejahteraan seluruh umat sebab sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.
Tags
Opini