Oleh: Rahmawati, S. Pd
(Pemerhati Pendidikan)
Deretan aksi mahasiswa terjadi di beberapa Daerah adalah sebagai bentuk respon terhadap pemerintah yang dinilai tidak bisa mengatasi masalah yang terjadi. Aksi tersebut adalah bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang menyebabkan masyarakat semakin hidup dalam kesulitan. Bahkan ada kebijakan kontroversial yang menuntut berbagai pihak untuk mengkritisi kebijakan tersebut.
Setelah mahasiswa dipaksa turun ke jalan untuk menyatakan aspirasi meskipun dalam kondisi pandemi, perwakilan dari Universitas Siliwangi menyataakan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak dan kelangkaan minyak goreng saja sudah sangat dirasakan masyarakat bawah, ditambah lagi kenaikan pajak (PPN 11%) yang dinilai bukan solutif, tapi semakain menyengsarakan rakyat. Ironisnya lagi, pemerintah justru menyuarakaan wacana untuk melakukan penundaan pemilu dan berencana melakukan pemindahan ibu kota negara.
Koordinator aksi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Robi Samsul Maarif, menilai, pemerintah tidak memiliki konsep dalam mengatasi masalah yang ada. Seperti menaikan harga BBM, sementara BBM itu sendiri merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Begitu juga kelangkaan pada minyak goreng diikuti harga yang tinggi, ini menunjukkan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa terhadap adanya mafia minyak tersebut.
Puncak aksi mahasiswa oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia terjadi pada hari senin, 11 April 2022 di ibu kota Jakarta. Mahasiswa menyampaikan tuntutan yang sama kepada pemerintah dengan harapan tuntutan yang menjadi aspirasi mereka didengar dan mampu memberikan perubahan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah hendaknya melihat aksi ini sebagai bentuk kemajuan dalam berfikir. Karena mahasiswa telah kembali berperan aktif setelah hanya berada dalam ruang diskusi-diskusi saja. Mahasiswa berperan dalam menyuarakan aspirasi rakyat atas tidak berpihaknya pemerintah kepada rakyat. Dimana ruang kuliah sebenarnya mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri. Demontrasi merupakan laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Dimana apabila ada kejanggalan atau kekeliruan, mahasiswalah yang segera mengkritisi dan mencarikan solusi untuk menyelesaikan permasalaha ini.
Namun saat ini peran mahasiswa dikerdilkan dalam bingkai sistem pendidikan. Mahasiswa hanya diarahkan untuk cenderung individual dan akhirnya membentuk sikap yang apatis. Begitu juga sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan respon pemerintah yang lamban dalam sebuah kebijakan, sering terjadinya inkonsistensi kebijakan yang membingungkan rakyat bahkan pada pencitraan-pencitraan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat membuat DPR tidak bergeming.
Realita kedaulatan ini memposisikan penguasa sebagai pembuat aturan dan mengesahkan dalam bentuk undang-undang kapanpun dan dimanapun tanpa ada koreksi. Semua kebijakan dibuat semata-mata untuk memuluskan kepentingan tertentu tanpa melihat dampak yang akan diterima masyarakat secara luas. Maka proses birokrasi ataupun aksi penolakan dari rakyat tidak bisa menghentikan pengesahan undang-undang yang sudah menjadi pesanan para pengusaha.
Demikianlah watak demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme. Sebuah kebebasan berpendapat yang selalu di elu-elukan hanyalah topeng untuk menutupi wajah sebenarnya demokrasi. Demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan rakyat bukan dalam artian melibatkan seluruh rakyat untuk sebuah keputusan tertentu, tetapi hanya pada rakyat yang memiliki kepentingan dan kekuasaan saja. Sehingga muncul kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Pemimpin dalam sistem demokrasi sampai kapan pun tidak akan pernah berpihak kepada rakyat. Tujuan politik yang hanya untuk meraih kekuasaan saja, hanya menggunakan rakyat untuk mendulang suara semata. Setelah tercapainya kekuasaan, pemimpin akan berpaling dari tuntutan rakyat yang seharusnya diperjuangkan. Sebagian besar kebijakan dan peraturan dibuat untuk mengokohkan bisnis penguasa yang pada akhirnya semakin membebani rakyat semata.
Berbeda dengan Islam, Pemimpin dalam Islam selalu berpihak kepada rakyat, karena itu adalah tujuan politik dalam Islam, yaitu mengurusi urusan rakyat. Pemimpin sangat memperhatikan rakyat dan menjadikan kepentingan rakyat menjadi kepentingan diatas segala-galanya. Sehingga wajar pemimpin di dalam Islam sangat dicintai rakyat.
Pemimpin di dalam Islam sanagat amanah karena memiliki kesadaran atas hubungannnya dengan Allah SWT di setiap waktu, tidak hanya saat ritual ibadah saja. Pemimpin dalam Islam hanya takut kepada Allah SWT dalam perkara menggunakan harta rakyat, bahkan yang menjadi miliknya pun akan terdedikasikan untuk rakyat. Hanya dalam Islam lah kita akan menemukan pemimpin yang benar-benar tulus berpihak kepada rakyat.
Allah SWT menciptakan manusia sekaligus menciptakan seperangkat aturan yang menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan manusia. Jika manusia mampu menjalani seperangkat aturan tersebut, maka umat manusia akan mendapat keselamatan dalam kehidupan. Jika peraturan tersebut dicampakkan, maka akan terjadi kerusakan di dalam setiap aspek kehidupan.
Kembalinya pada aturan Allah SWT yaitu kembalinya pada sistem pemerintahan Islam (khilafah). Ini adalah satu-satunya jalan dalam mencari keridhoan Allah SWT dan keluar dari belenggu permasalahan kehidupan selama ini. Akan mudah ditemukan sosok-sosok pemimpin yang adil dan membawa manusia kembali hidup dalam kemulian Islam. Allahu’alambisshawab.
Tags
Opini