Legalisasi UU TP-KS Sarat Aroma Liberalisasi

Oleh : Ummu Khielba
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
 

Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mengatasi tingginya kasus kejahatan kesusilaan di Indonesia membuat pemerintah mengeluarkan kebijakaan dalam wadah UU, perlu diapresiasi, namun sarat akan aroma liberalisasi.
 
Setelah bertahun-tahun diupayakan, pada Rapat. Paripurna DPR RI 12 April 2022, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan Menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. https://t.co/u6gE5bRR3K
 
RUU TP-KS yang telah disahkan dalam Pembahasan Tingkat I Sidang Pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Selasa (5/4) lalu, juga memuat pengaturan hukum acara mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Kemudian diatur pula hak korban yang meliputi penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga ganti rugi. (Katadata.co.id, 11/4/2022).  
 
Selama periode 2016-2020 setiap tahun ada sekurang-kurangnya 5.200 kasus kejahatan terhadap kesusilaan. Reduksi 9 tuntutan jadi 4 tuntutan saja. Reduksi pasal dari 124 menjadi 64 pasal. Dalam sistem demokrasi-sekuler, persoalan kekerasan seksual yang berlangsung bertahun-tahun tidak pernah bisa diselesaikan karena homo, LGBT, tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan. 
 
Meski UU telah banyak dibuat. Budaya pergaulan permisif dan hilangnya budaya amar ma’ruf nahi mungkar memicu kekerasan seksual. Negara bahkan bisa menjadi legalisator kemaksiatan. Lagi-lagi disahkan tanpa menunggu perbaikan KUHP, artinya hanya bertujuan melegitimasi paradigma liberal dalam memandang kekerasan seksual, bukan benar-benar bertujuan menghapus Kekerasan seksual.
 
Keniscayaan terjadi berulangnya kesusilaan di negara mayoritas muslim ini (86 % muslim = 235 juta) yang menerapkan sistem demokrasi sekuler, karena penyimpangan seksual LGBT dan perzinaan tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan.
 
Kehancuran pasti akan terjadi jika perzinaan sudah merebak di suatu negeri. Tidak ada satu musibah pun yang terjadi di muka bumi kecuali akibat dari kesalahan diri mereka sendiri. Allah SWT berfirman: “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).
 
Ibnu Abi Ad-Dunya ra meriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwasanya beliau dan seorang lagi masuk menemui ibunda ‘Aisyah ra, lalu orang tersebut berkata: “Wahai Ummul Mukminin! Beritahukanlah kepada kami tentang gempa.” Ibunda ‘Aisyah menjawab: “Apabila mereka telah memperbolehkan perzinaan, meminum khamr, memainkan alat musik, maka Allah SWT marah di langit-Nya dan berfirman kepada bumi: ‘Bergoncanglah atas mereka!’ Jika mereka bertaubat dan meninggalkan perbuatan tersebut (berhentilah), jika tidak, maka hancurkanlah mereka!” Orang tersebut berkata: “Wahai Ummul Mukminin! Apakah itu azab atas mereka?” Beliau menjawab: “Itu adalah peringatan dan rahmat bagi orang-orang beriman, dan hukuman, azab serta murka atas orang-orang kafir.
 
Sistem sanksi dalam Islam mampu menyelesaikan persoalan hingga akarnya dengan efek jawabir (penghapus dosa) dan zawajirnya (efek jera). Contohnya, pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu razam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya mukhson (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu mukhson (belum menikah).
 
Kunci utamanya adalah negara sebagai yang menjaga hubungan interaksi lawan jenis pun sesama jenis di masyarakat dengan syariat Islam. Bukan dengan legalisasi UU TP-KS yang sarat akan kepentingan kaum liberalis dan kaum feminis.
 
Wallahu A’lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak