Klitih, Generasi Riuh Nan Rapuh




Oleh : Mauli Azzura

Kata klitih yang semula di pakai warga Yogyakarta sebagai sebutan untuk aktivitas keluar jalan-jalan atau istilah mencari angin untuk menghilangka rasa lelah. Kini berubah definisi menjadi hal yang sangat mengerikan, yakni sebuah aktivitas atau aksi yang dilakukan segerombolan orang dimalam hari, yang menyusuri jalanan dengan bersenjatakan benda tajam seperti pedang, gir sepeda motor, golok dan mengincar korban.

Ayal nya pelaku khitih adalah para remaja sekitar usia 14 sampai 19 tahun, berkisar antara pelajar SMP dan SMA.

Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi menetapkan dua tersangka kasus tawuran sarung berujung maut di Jalan Raya Tambun Utara, Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, yang mengakibatkan satu korban DS (14) meninggal dunia pada Selasa (5/4/2022) dini hari.  aksi tawuran berujung maut itu berawal dari perjanjian perang sarung antara kelompok pelaku yang tengah berkumpul di dekat musala dengan kelompok remaja lain. Saat perang sarung berlangsung, seorang anggota kelompok pelaku terkena sayatan senjata tajam sehingga memicu amarah. Polisi masih melakukan pendalaman atas kasus ini termasuk pencarian terhadap pelaku lain yang terlibat. (Suara.com 07/04/2022)

Pelaku klitih tidak merampas harta, tidak menyerang perempuan dan orang tua, namun aksi tersebut tidak dibenarkan meski dengan alasan mencari jati diri dari seorang remaja. Tapu fakta lapangan, seperti tawuran remaja dengan antar kelompok masih sering terjadi, bahkan di daerah  Tanggerang, Palembang, dan lain-lain.

Sejatinya, jatuh satu korban saja menjadi masalah serius yang memerlukan solusi dan sanksi tegas agar kejahatan tidak berlanjut. Apalagi bila sudah memakan korban nyawa, karena hal itu masuk dalam ranah kasus pembunuhan.

Beginilah era kapitalisme yang membuat remaja menjadi rapuh dan lemah iman, terutama dalam sekulerismeyang menjauhkan agama dari kehidupan. Sekulerisme menciptakan generasi yang jauh dari kata berkualitas, generasi yg terlihat merusak demi ke-eksistensi an diri berujung pada perilaku kriminal.

Berbeda dengan sistem Islam yang sangat menghargai nyawa manusia. Maka pelaku pembunuhan akan dikenai sanksi tegas yang berat. Sanksi membunuh dengan sengaja, akan di qisas yakni di bunuh. Dan bila pembunuhan dilakukan dengan alat tertentu yang sengaja digunakan untuk menyiksa namun sampai mati, maka mendapat sanksi diat (tebusan) 100 ekor unta (40 ekor diantaranya dalam keadaan bunting). Sedang pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja maka sanksi nya  membayar 100 ekor unta sebagai tebusan.

Benar-benar sanksi tegas yang sangat menghargai sebuah nyawa. Begitulah Islam menerapkan hukum yang akan tegas diberikan kepada pelaku, sehingga menimbulkan efek jera dan membuat manusia berpikir banyak kali untuk melakukan pembunuhan.

Wallahu a'lam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak