Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Saat ini, mata telanjang mampu mengamati kondisi kepanikan yang sedang melanda istana. Mulai dari pro – kontra wacana penundaan pemilu, carut marut kebijakan pindah IKN, kelangkaan minyak goreng, naiknya pajak dan BBM yang memicu naiknya harga barang di pasaran, serta berbagai kebijakan publik yang dinilai hanya untuk kepentingan oligarki, telah membuat rakyat marah. Di tengah harapan untuk menambah masa jabatan, tentu kondisi ini tentu bukan hal yang menguntungkan. Karena bagaimanapun juga, suara rakyat adalah jalan mendulang kekuasaan.
Di tengah kepanikan yang kian meningkat, sering yang berbicara bukan lagi akal sehat. Maka kita bisa saksikan, berbagai upaya rezim benar – benar bukan lagi demi rakyat. Ketika rakyat menjerit dengan lambungan harga barang, Nampak aneh jika ada pengumpulan massa di berbagai daerah untuk menyuarakan penundaan Pemilu 2024. Masyarakat seolah berinisiatif berkumpul sendiri untuk mendukung Jokowi. Padahal nyata di lapangan, banyak rakyat yang kecewa.
Sehingga menjadi hal lumrah ketika banyak pihak menilai, aksi tersebut sengaja dibuat untuk mendobrak keputusan formal atau hukum terkait masa jabatan presiden sesuai UUD 1945, dan juga untuk menilai dan menguji sebesar apa suasana politik di akar rumput.
Selain itu, pengamat juga banyak yang menilai adanya operasi intelejen yang berusaha membenturkan masyarakat. Mencuatnya kembali isu radikalis disertai labeling terhadap tokoh atau organisasi tertentu, adanya undangan terhadap 12 organisasi mahasiswa Cipayung plus yang berjanji mengawal kebijakan Jokowi, adanya forum KADES yang mendukung penundaan pemilu dll, dinilai akan menjadi bola liar yang mengakibatkan kebingungan masyarakat dan bisa menjurus ke kisruh horizontal.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Menurut Islam, kepemimpinan adalah amanah dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini tercermin dari hadist Rosulullah, Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya.” (HR Muslim)
Dan bagi pemimpin yang abai akan amanahnya, sungguh berat tanggungannya di hadapan Allah Taala. Rosulullah mengabarkan hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan Muslim.
“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda), dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah) orang tua yang berzina, penguasa yang suka berdusta, dan fakir miskin yang takabur.” (HR Muslim)
Negeri ini adalah negeri besar. Negeri yang dianugerahi wilayah luas, kekayaan alam yang beragam, serta SDM melimpah. Hanya butuh dua hal untuk mengantarkan negeri menjadi negeri kuat dan berdaya, yakni sistem tangguh—Daulah Khilafah Islamiah—dan pemimpin yang kuat dan amanah.
Maka, pilihan kembali ke tangan masyarakat. Apakah masih akan menyerahkan hatinya kepada sistem buatan manusia yang jelas – jelas telah mengantarkannnya kepada kesusahan tak berkesudahan seperti saat ini? Terlebih ketika rezim telah panik, maka rakyatlah yang kehidupannya makin tercekik.
Atau kah mau kembali menyerahkan hatinya kepada Islam, yang secara dalil adalah kewajiban kaum muslimin, dan secara fakta, telah terbukti sejarah bisa membawa sejahtera. Kesejahteraan yang meliputi siang dan malam, bagi muslim maupun non muslim. Wallahu a’lam bi ash showab.