Kelangkaan Minyak Goreng Membuat Rakyat Geleng-geleng



Oleh : Ummu Fairuz

           Sungguh miris, menyaksikan fenomena masyarakat saat ini yang dipaksa oleh keadaan harus mengikuti antrian panjang demi mendapatkan minyak goreng. Hal tersebut sudah tidak asing lagi di negeri ini.
Sudahlah harganya melambung, minyak goreng juga menghilang dari pasaran.

Memang tidak bisa dimungkiri, sejak beberapa bulan terakhir minyak goreng menjadi komoditi yang susah untuk ditemui.
Bahan pangan yang satu ini tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari. Apalagi, bagi pelaku usaha kuliner.
Wajar, jika masyarakat rela berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng bersubsidi saat ada operasi pasar.

Fakta antrian panjang demi minyak goreng sungguh sangat memprihatikan.
Pasalnya terjadi di negeri yang memiliki perkebunan sawit terluas, hingga dijuluki Raja Sawit .
Negeri ini adalah pengekspor CPO terbesar di dunia.
Namun faktanya, rakyatnya kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng.
Disisi lain, beredar kabar penimbunan minyak goreng disejumlah daerah oleh para pengusaha serakah dengan jumlah yang fantastis.
Lengkap sudah, kesulitan hidup yang dialami rakyat di negeri ini.

Pemerintah Pusat melalui  Kementerian Perdagangan ( Kemendag) mengklaim bahwa stok minyak goreng sangat melimpah didalam negeri.
Namun, diakui bahwa minyak goreng dengan harga yang sesuai dengan HET yang ditentukan pemerintah masih sulit didapat di pasaran maupun di toko atau warung di pemukiman.

Berulang kali Kemendag berjanji pada masyarakat akan mengatasi kelangkaan minyak goreng.
Disampaikan bahwa pasokan minyak goreng murah, aman dan bisa tersedia di pasar. Akan tetapi, realita di lapangan masyarakat masih susah mendapatkan minyak goreng murah.

Sejumlah kebijakan pengendalian harga minyak goreng di dalam negeri telah dilakukan disepanjang tahun ini. Pemerintah bahkan telah menggelontorkan subsidi minyak mencapai Rp. 3,6 Triliun (Kompas,com.Rabu 9 Maret 2022).

Mendag Lutfi telah melakukan blusukan langsung dibeberapa pasar tradisional. Dalam satu peninjauannya di Pasar Kebayoran baru, tidak ditemukan satupun pedagang yang menjual minyak goreng yang sesuai dengan HET.
HET minyak goreng yang ditentukan oleh pemerintah, yaitu Rp.11.500 / liter untuk minyak curah, Rp.13.000/ liter untuk minyak goreng kemasan sederhana,dan Rp 14.000 / liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Kebijakan tersebut berlaku per 1 Februari.

Menemukan fakta di lapangan, HET yang telah ditetapkan pemerintah tidak diberlakukan, Mendag berencana akan memberikan spanduk kepada pedagang pasar yang bertuliskan harga minyak goreng.

Solusi yang diberikan oleh pemerintah dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng dengan menetapkan HET dianggap sudah tepat oleh Kepala Badan Pangan Nasional, Arif Prasetyo Adi.


Selain itu, Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) menyiapkan dana sebesar Rp 7,6 Triliun yang digunakan untuk membiayai penyediaan migor kemasan bagi masyarakat sebesar 250 juta liter per bulan, atau 1,5 Milyar liter selama 6 bulan.

Menurut ekonom senior Faisal Basri, biang keladi kekisruhan minyak goreng adalah pemerintah. Karena memanjakan pabrik biodiesel.
Program B30 adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen BBM jenis solar, sehingga pengusaha lebih memilih menyalurkan CPO -nya ke pabrik biodiesel.

Dari berbagai kebijakan pemerintah untuk mengatasi problem kelangkaan minyak goreng ini, mulai dari operasi pasar hingga menentukan harga eceran tertinggi dinilai tidak efektif dan justru membingungkan.
Ketika kebijakan subsidi satu harga dicabut dan diganti dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi, justru yang terjadi minyak goreng menghilang dari pasaran.

Pedagang dibuat gusar, menjual minyak goreng stok lama dengan HET tentu saja akan merugi.
Dijual di atas harga HET khawatir ditindak oleh Satgas Pangan. Dari sini, kita memahami mengapa problem minyak goreng kian ruwet.
Rantai distribusi minyak goreng didominasi oleh swasta.
Bukan BUMN atau pemerintah. Jadi,  wajar jika banyak kepentingan bisnis yang bermain dalam urusan ketersediaan minyak goreng.
Padahal sebagian besar perkebunan milik perusahaan sawit yang turut memproduksi minyak goreng berstatus Hak Guna Usaha.
Mereka memanfaatkan lahan milik negara.

Kelangkaan minyak goreng sebenarnya adalah salah satu  akibat  dari pengelolaan ekonomi yang rusak.
Menyerahkan urusan kebutuhan rakyat dengan paradigma bisnis.
Hal ini muncul dari sistem ekonomi kapitalis.
Dalam pandangan sistem ekonomi kapitalis dan politik liberal, hubungan antara rakyat dan negara adalah hubungan bisnis, yaitu hubungan pembeli dan penjual.Tak heran jika subsidi untuk rakyat dianggap sebagai beban yang harus dihilangkan.
Sementara itu, berbagai kebijakan negara justru mengistimewakan para pengusaha/pemilik modal.
Mereka selalu mendapatkan karpet merah untuk meraup keuntungan yang melimpah.

Dalam pandangan ekonomi Islam,
perkebunan sawit merupakan konversi hutan yang statusnya adalah kepemilikan umum.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya "Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara, yaitu padang rumput, air dan api.( HR. Abu Dawud dan Ahmad dan Baihaqi).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, ada tambahan "Harganya haram".

Negara diwajibkan untuk mengelola kepemilikan umum dan mengembalikan hasilnya kepada pemiliknya yaitu rakyat.
Negara tidak akan mengambil keuntungan dari pengelolaan kepemilikan umum, termasuk perkebunannya sawit yang menghasilkan minyak goreng. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengambil keuntungan ketika menjual minyak goreng kepada rakyatnya.
Cukup mengganti biaya produksi dan distribusi nya .

Selain itu, prioritas minyak goreng diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, dibandingkan untuk kebutuhan biodiesel apalagi ekspor .
Dengan konsep seperti ini, minyak goreng bisa didapatkan rakyat dengan mudah dan murah.
Dari sini sangatlah jelas, bahwa mengalihkan harta kepemilikan umum kepada individu atau  perusahaan swasta, menyebabkan masyarakat kesulitan bahkan tidak mampu untuk mendapatkan, adalah tindakan yang diharamkan.

Terkait dengan penimbunan, Islam melarang dan menindak tegas terhadap pelaku penimbun, terlebih bahan kebutuhan pokok masyarakat .
Negara akan memberikan sanksi tegas.

Rasulullah SAW bersabda: " Orang yang mendatangkan ( makanan) akan dilimpahkan rezekinya, sementara penimbun akan dilaknat".

Kelangkaan bahan pangan bisa saja terjadi.
Namun, didalam Islam, negara atau penguasa  tidak dibenarkan menentukan harga.
Di masa Rasulullah SAW, pernah terjadi kelangkaan barang, sehingga beliau sebagai penguasa saat itu diminta untuk menentukan harga.
Beliau menolak dengan tegas, karena penentuan harga adalah salah satu bentuk kezaliman.
Dalam Islam, mengatasi kelangkaan barang tidak rumit sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekuleris.

Jika kita menengok sejarah yang telah mencatat pada masa Khalifah Umar bin Khattab, wilayah Hijaz dilanda paceklik. Masyarakat sangat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.
Sang Khalifah segera mengirim surat kepada wali diberbagai wilayah Islam. Beliau meminta agar para wali segera mengirimkan bantuan makanan dan segala kebutuhan penduduk Hijaz. Tidak menunggu lama, para wali yang menerima surat dari Khalifah Umar segera mengirimkan bantuan makanan dan komoditas yang dibutuhkan penduduk Hijaz.

Demikianlah keagungan sistem Islam, yang mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan, termasuk problem ekonomi.

Sistem ekonomi kapitalis yang diharamkan oleh Allah SWT, telah nyata terbukti tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi, termasuk kelangkaan minyak goreng sebagai kebutuhan pokok masyarakat.

Sistem ekonomi yang penuh dengan kemudharatan bagi kehidupan harus segera dihentikan.
Kebijakan ekonomi yang selalu menyenangkan kapiitalis dan asing, jelas-jelas menyalahi syariat Islam.
Rakyat sebagai pemilik kekayaan negeri ini seharusnya di riayah, bukan ditimpa dengan berbagai kesusahan.

Sudah terlalu lama umat berada dalam jeratan kapitalisme.
Sudah saatnya untuk membuang akar dari berbagai macam masalah ekonomi, termasuk kelangkaan minyak goreng.
Dengan menerapkan syariat Islam secara Kaffah.

Tentunya, untuk bisa mewujudkan kembali penerapan syari'at Islam saat ini haruslah diperjuangkan. Oleh karenanya, kita harus istiqomah berada di jalan dakwah. 

Wallahu a'lam bisshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak