Kekerasan Remaja saat ini, sudah Level Merenggut Nyawa




Oleh : Nia Amalia


Seorang siswa SMA di Yogyakarta dikatakan menjadi korban klitih hingga meninggal dunia pada Minggu dini hari (3/4/2022). Bukan baru kali ini saja, fenomena klitih nampaknya telah terjadi hingga kesekian kalinya bahkan sampai memakan korban jiwa. Klitih sebelumnya dimaknai sebagai kegiatan untuk jalan-jalan ataupun keliling kota tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang. Namun, makna itu belakangan ini berubah sebagai aksi kekerasan jalanan dengan menyasar pengendara motor.(Liputan 6.com).

Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi menetapkan dua tersangka kasus tawuran sarung berujung maut di Jalan Raya Tambun Utara, Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, yang mengakibatkan satu korban DS (14) meninggal dunia pada Selasa (5/4/2022) dini hari. Kapolres Metro Bekasi Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan menjelaskan, aksi tawuran berujung maut itu berawal dari perjanjian perang sarung antara kelompok pelaku yang tengah berkumpul di dekat musala dengan kelompok remaja lain (suara.com).

Ada apa dengan remaja kita? Kekerasan dan kesadisan sudah tidak dipandang sebagai hal yang menakutan lagi. Apakah kegiatan sekolah tidak cukup menyibukkan sehingga sempat-sempatnya mengisi waktu luang dengan tawuran?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin terbayangkan oleh orang tua yang membaca berita ini. Pasalnya di era 90an tawuran ini tidak separah saat ini. Kalaupun terjadi tawuran kala itu, tidak sampai pada menghilangkan nyawa. Pengamat anak mengatakan, hal ini dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor keluarga dan lingkungan. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak karena orang tua sibuk bekerja di luar, menjadi salah satu penyebabnya.

Apakah bisa menyimpulkan penyebabnya dari masalah permukaan saja?
Kita sadari, di era milenial seperti ini, penyebab kekerasan remaja bisa banyak faktor, diantaranya :
_Tontonan kekerasan yang mudah diakses oleh remaja_. Media sosial dan industri perfilman Indonesia, sangat marak dengan konten kekerasan. Baik itu lewat film-film luar maupun dalam negeri, sangat mudah diakses oleh remaja dan anak.

Tidak sinkron antara target pendidikan dan kurikulum yang diberikan. Kurikulum yang terkesan berat dan berubah-ubah, jelas sangat membebani guru dalam membentuk karakter anak. Guru menjadi tidak fokus dalam membentuk kepribadian yang unggul, karena harus dikejar-kejar oleh materi kurikulum beserta adaptasinya. Pada akhirnya out put yang dihasilkan pada anak didik memprihatinkan.

Orang tua di rumah yang memasrahkan penuh tanggungjawab mendidik anak pada sekolah_. Bahkan untuk mencari amannya, banyak yang memasukkan anak ke boarding school  atau pondok pesantren. Sayangnya, banyak orang tua yang melepaskan tanggungjawab pendidikan begitu saja, yang penting bisa bayar SPP. 

Sekulerisme telah memisahkan aqidah dari pengaturan kehidupan. Paham liberalisme telah mendarah daging dalam jiwa remaja. Mengajari remaja untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Pornografi, pornoaksi dan kekerasan telah menjadi bahan makanan sehari-hari oleh remaja. Paham liberal  menyebabkan masyarakat memiliki sikap "cuek" satu sama lain. "Sak Karepmu" ( terserahlah, atur sesuai keinginanmu) telah menjadi pedoman masyakarat saat ini. Paham kapitalis liberalis juga menyebabkan negara menjadi abai. Negara berperan sebagai regulator saja. Negara tidak boleh mengekang kebebasan individu.

Kapitalis mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Hal ini mengerikan, karena ketentuan internasional  melarang anak untuk dijatuhi sanksi pidana, menyebabkan anak “bebas” melakukan tindakan kriminal. 

Beda dengan Islam, syariat Islam mengarahkan anak sesuai masa balig. Proses pendidikan anak dalam Islam, pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring dengan kedewasaannya secara biologis (baligh). Media massa terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Negara akan melarang media yang memuat pornografi, kekerasan, ide LGBT, dan yang menyebabkan kerusakan moral lainnya. 

Negara juga menerapkan sangsi yang tegas. Misalnya saja, pembunuh anak akan diqishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 2 miliar rupiah. Sangsi bersifat preventif bagi masyarakat, pelaksanannya pun disaksikan oleh masyarakat agar mencegah yang lainnya jika ingin berbuat hal serupa. Hanya Islam yang sudah pasti bisa menyelesaikan permasalahan masyarakat. Umat Islam tidak usah meragukannya. Wallahu alam bi Ashowab.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak