Oleh : Mira Sutami H ( Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik )
Bulan Ramadhan telah datang. Umat muslim tentu menyambutnya dengan suka cita. Bahkan banyak yang mempersiapkan diri beberapa bulan sebelumnya agar Ramadhan dari tahun ke tahun lebih baik lagi, lebih khusuk dan maksimal dalam menjalankan puasa dan ibadah lainnya. Namun sayang kesucian Ramadhan terusik kelompok kaum liberalisme malah membikin isu bahwa muslim harus menghormati orang yang tidak berpuasa jadi warung makan boleh buka siang hari agar yang tidak berpuasa bisa membeli makanan. Mereka menganggap bahwa bila warung makan dilarang buka maka itu bentuk intoleransi beragama.
Bukan meluruskan bahkan pihak yang terang - terangan merevisi kebijakan tahun sebelumnya. Pihak yang merevisi kebijakan membuka warung makan buka siang hari bulan Ramadhan salah satunya MUI. Menurut MUI warung makan tidak perlu tutup pada siang hari selama Ramadhan. Mereka tetap mengizinkan beroperasi melayani pembeli namun tetap menghargai umat Islam yang berpuasa. Selama ketika makan jangan dipamerkan kepada orang yang sedang berpuasa.
Ketua MUI Cholil Nafis menjelaskan saat bulan Ramadhan umat Islam kategori tertentu juga membutuhkan makanan pada siang hari. Misal, orang yang berhalangan berpuasa, perempuan yang sedang haid, atau nifas, orang - orang dalam perjalan jauh, dan lain sebagainya.Cholil juga meminta kepada kaum muslimin untuk saling menghargai, termasuk kepada para pedagang yang tetap berjualan saat siang hari bulan Ramadhan. (sumutpos.jawapos.com, 30/3/2022 )
Umat mestinya harus paham benar makna toleransi. Toleransi adalah membiarkan atau memberi kebebasan kepada pemeluk ibadah lain untuk menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan agamanya. Jadi sudah sewajarnya kala bulan suci Ramadhan ya umat agama lain menghormati muslim untuk menjalankan ibadah puasa dan mereka harusnya berupaya untuk memberikan ruang gerak bagi muslim agar kekhusukan ibadah selama bulan Ramadhan salah satunya tidak berjualan siang hari, tidak menampakkan aktivitas makan dan minum di luar ruangan. Mirisnya sekarang malah ada yang bikin gaduh dan bikin tuduhan miring kepada umat Islam.
Namun akibat dari proyek moderasi beragama dan Islamophobia semua yang berbau Islam selalu digugat. Mulai suara adzan, suara orang membangunkan sahur di masjid pun juga mendapatkan sorotan katanya bikin gaduh karena mengganggu orang yang sedang beristirahat. Namun sayangnya umat Islam sering kali harus mengalah dan pasrah begitu saja menerima hal
ini. Padahal jelas - jelas muslim di Indonesia adalah umat mayoritas. Secara nalar penduduk yang beragama lain sudah paham akan hal ini.
Padahal sering kali yang menggembar - gemborkan dan menggugat Islam memang bukan langsung dari non muslim namun tak lebih mereka adalah orang liberal yang ingin memecah belah umat. Hal ini terbukti banyak non muslim yang memberikan pernyataan bahwa mereka tidak merasa terganggu misal dengan suara azan, suara orang yang membangunkan muslim untuk sahur dan rutinitas muslim yang lainnya. Pernyataan ini disampaikan banyak non muslim di media sosial mereka. Karena mereka menganggap hal itu adalah bentuk penghormatan terhadap umat muslim yang ingin taat terhadap agama mereka. Dan mereka sadar muslim selalu baik dan juga menghormati mereka tatkala mereka menjalankan ibadah mereka.
Nah jadi harusnya negara bisa untuk meredam atau memberi tindakan tegas pada orang - orang ingin memecah belah umat ini. Terutama dari golongan liberal ini. Namun harapan ini akan sulit terpenuhi karena atas nama kebebasan yang diagungkan dalam sistem kapitalisme sekuler pasti sulit penguasa menindak mereka karena ada payung HAM.
Hal ini amat berbeda dengan sistem Islam dimana pemimpin akan selalu menjaga akidah umat. Seorang pemimpin tidak akan membiarkan individu manapun untuk membikin gaduh dan berupaya memecah belah umat. Pasti orang seperti ini akan mendapatkan sanksi yang tegas oleh khalifah ( pemimpin dalam Islam ). Sanksi yang dijatuhkan pasti membikin jera para pelaku dan juga bisa mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Namun saya akibat ketiadaan khilafah bagi kaum muslimin terus saja disudutkan dan menjadi bulan - bulanan pembenci Islam. Isu - isu intoleran selalu disematkan pada kaum muslimin saat ini dan umat muslim pun berupaya mengkonter hal itu namun karena solusinya bukan solusi praktis. Maka wajar kasus demi kasus tidak kunjung terselesaikan. Bahkan kasus - kasus serupa yang bermunculan dan semakin banyak saja.
Nuansa Ramadhan pada saat era khilafah dan saat ini sangat jauh berbeda. Pada era khilafah Ramadhan itu sangat semarak mulai dari pagi hari hingga malam hari. Seluruh umat Islam berlomba - lomba memperbanyak ibadah dengan ibadah mulai dari berdzikir, tadarus Al Qur'an, dakwah dan ibadah lainnya. Dan begitupun penghormatan dan toleransi oleh non muslim sangat tinggi kepada muslim yang pada saat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Kerukunan antar umat beragama tidak hanya ditunjukkan pada saat Ramadhan saja namun pada bulan - bulan yang lainnya sepanjang masa dan selama khilafah tegak.
Betapa indah menjalankan ibadah Ramadhan pada masa khilafah. Perdamaian dan persatuan juga begitu kentara dan mendamaikan hati. Tentu kita ingin merasakan indahnya suasana itu, tidak seperti saat ini umat muslim itu mayoritas di dunia namun lemah dan bahkan tak berdaya menghadapi musuh - musuh Islam. Oleh karena itu kita butuh institusi khilafah. Maka umat harus memperjuangkannya agar khilafah segera tegak.
Wallahu a'lam bish shawab