Oleh : Dahlia
Kasus kriminal berupa kekerasan di jalanan yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu kembali memicu kekhawatiran publik. Istilah klitih pun jadi topik hangat dalam perbincangan di media sosial.
Setelah kasus aksi kriminal jalanan di Yogyakarta viral di media sosial, istilah klitih kembali menjadi perhatian masyarakat. Sebenarnya, kasus ini tak hanya terjadi di Yogyakarta, tapi juga kawasan sekitarnya, seperti Magelang dan Semarang. Setelah fenomena ini menjadi isu nasional, orang yang tinggal jauh dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah pun penasaran dengan arti klitih.
Berdasarkan beberapa kasus yang telah terjadi, klitih dapat dipahami sebagai aksi kriminal jalanan yang terjadi di DIY dan sekitarnya. Aksi ini dilakukan oleh para pemuda yang menyakiti pengendara lain saat malam hari. Targetnya pun cenderung random. Biasanya korban adalah orang yang kebetulan melintas di jalan sepi saat malam hari. Selanjutnya, para pelaku melakukan perundungan secara fisik menggunakan senjata tajam, bisa dengan pisau, silet, celurit, dan lain sebagainya. Karena siksaan tersebut, korban bisa menderita luka yang cukup parah bahkan ada yang meninggal dunia.
Asal Usul Klitih
Meskipun sekarang aksi klitih identik dengan kekerasan, sebenarnya asal-usulnya jauh dari kesan tersebut. Awalnya, klitih merupakan istilah yang digunakan masyarakat DIY untuk menyebut aktivitas keluar rumah untuk berkeliling dan mengisi waktu luang tanpa tujuan yang jelas. Dalam hal ini, klitih sebenarnya sama dengan aktivitas lain yang bertujuan menghilangkan kepenatan.
Sayangnya, makin lama kegiatan orang-orang yang punya waktu luang tersebut diisi dengan aksi kejahatan di jalanan. Pelaku yang tertangkap pun kebanyakan adalah pemuda atau pelajar. Hal itu membuat arti klitih mengalami pergeseran menjadi aktivitas kejahatan yang identik dengan remaja dan senjata tajam.
Masyarakat yang baru mendengar berita tentang klitih biasanya mengira hal ini sama dengan tawuran, aksi begal atau perampokan di jalan sehingga membuat masyarakat merasa khawatir. Padahal motifnya berbeda.
Hal itu dapat dilihat dari berbagai percakapan di media sosial mengenai kasus klitih yang makin sering terjadi pada bulan Ramadhan 2022 ini. Rasa khawatir itu muncul karena siapa saja bisa menjadi target selanjutnya, padahal banyak profesi atau kegiatan tertentu yang memaksa seseorang masih harus berada di luar rumah sampai larut malam. Orang yang sebenarnya tak punya masalah dengan pihak mana pun bisa menjadi korban kekerasan di jalan.
Bagaimana Islam Mengatasi Kasus Klitih
Membahas kasus kriminalitas remaja usia pelajar, tidak bisa dipandang dari satu sudut saja. Karena sebenarnya ini adalah kasus sistemik. Kasus ini adalah efek dari sistem sekuler kapitalis yang menjauhkan agama dari seluruh lini kehidupan.
Agama dijauhkan dari urusan negara. Sehingga negara abai dari tanggung jawabnya sebagai penjaga akidah umat. Agama dijauhkan dari kurikulum sekolah, kalau pun ada hanya sebatas formalitas dan teori semata tanpa dibangun aqidah shahih yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam.
Kehidupan kapitalis pun menggerus peran keluarga, sehingga rapuh dan kering dari akidah. Keluarga hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan materi, materi dan materi. Sehingga orang tua sering kali abai terhadap tugas utamanya dalam mendidik anak-anaknya, karena lebih fokus pada kerja dan kerja.
Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan tatanan Islam. Islam membangun masyarakat di atas akidah. Dimana akidah menjadi basis utama dalam seluruh lini kehidupan.
Negara tegak di atas keimanan, dipimpin dan dikelola oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Sehingga negara benar-benar akan mengurusi rakyat dan apapun yang berada di bawah kepemimpinannya.
Rasulullah bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Negara akan mengedukasi rakyat dengan keimanan. Maka akan lahir rakyat-rakyat yang berkepribadian Islam, yang hanya mengejar ridho dan kebahagiaan hakiki (surga-Nya). Dan juga rakyat yang takut dengan azab-Nya.
Edukasi ini tidak hanya berlaku dalam sistem pendidikan sekolah. Tapi juga berlaku bagi semua lapisan masyarakat. Jadi dalam Islam, urusan taklim dan tasqif bukan kewajiban kelompok-kelompok dakwah. Melainkan tugas negara.
Negara juga berkewajiban menyediakan kemudahan berbagai fasilitas kehidupan. Mulai infrastruktur, kesehatan, pendidikan, bahkan urusan keluarga. Sehingga dapat meminimalkan tindak kriminalitas atas alasan faktor ekonomi.
Setelah sekian upaya dilaksanakan, jika masih terjadi kriminalitas, maka hukum sanksi pun akan tetap ditegakkan oleh negara. Karena orang-orang berkepribadian Islam telah terbentuk, sehingga pelaksanaan hukum pun akan ditegakkan dengan adil dan berlandas pada aturan Allah.
Dalam hukum Islam, setiap jiwa yang sudah baligh maka telah jatuh beban hukum padanya. Ketika terjadi kejahatan yang pelakunya adalah remaja yang sudah baligh, maka akan ditindak dengan cara yang sama dengan orang dewasa.
Dalam kasus klithih seperti di atas, maka Islam memandangnya sebagai kejahatan jinayat (penyerangan terhadap manusia).
Jinâyât dibagi dua:
(1) Penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan). Kasus jinâyât ini sanksinya ada tiga macam yakni qishash, diyat, atau kafarah.
(2) Penyerangan terhadap organ tubuh. Sanksinya adalah diyat yang kadarnya sesuai apa yang telah disebutkan oleh Assunnah. Jika tidak disebutkan dalam Assunnah, maka harus diberikan hukuman yang adil oleh pemimpin ataupun hakim.
Oleh karena itulah, salah satu syarat pemimpin dalam Islam adalah seorang mujtahid, agar dapat memahami dengan benar dan menggali hukum dengan benar pula untuk dapat menentukan hukuman yang adil bagi sanksi.
Begitulah, Islam mengatur sedemikian rupa seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam hal pemberian sanksi yang tegas, adil, memberi efek jera dan peringatan bagi yang lain. Sehingga seluruh tindak kriminalitas termasuk kejahatan remaja semacam klithih bisa dicegah dan dihapuskan hingga tuntas sampai ke akarnya.
Wallahua’lam
Tags
Opini