Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Perbedaan gender dan budaya serta lemahnya posisi perempuan, menjadikan mereka rentan menerima kekerasan seksual. Kekerasan berupa pelecehan dan pemerkosaan semakin meningkat setiap tahun. Namun sayang, tidak semua korban pelecehan mendapatkan keadilan.
Faktanya dari tinggi kasus kekerasan tidak sebanding dengan jumlah kasus yang masuk pengadilan. Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, data dari Komnas HAM maupun KPAI dan lain sebagainya, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan sekitar 6.000 kasus. Sementara data dari pengadilan, jumlah yang masuk kurang dari 300 kasus, berarti kurang dari 5 persen. (antaranews.com 29/3)
Perbedaan angka yang jauh signifikan, menunjukkan adanya kesalahan dalam sistem peradilan. Diperparah dengan ketidakadilan yang semakin dipertontonkan. Belum lama ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Dosen FISIP Universitas Riau (Unri) Syafri Harto dengan dalih tak terbukti melakukan perbuatan cabul terhadap mahasiswinya, LM. (cnnindonesia.com 30/3)
Lemahnya hukum menjadi penyebab utama dari permasalahan ini. Lalu, tidak ada payung hukum yang tepat, membuat para korban sulit mencari keadilan. Maka dari itu, pemerintah mengajukan Rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk disahkan. Sebagai upaya untuk melindunginya perempuan dari tindak kejahatan seksual. Sejalan dengan itu, kaum feminisme menilai undang-undang tersebut mampu memberikan perlindungan maksimal kepada korban pelecehan.
Desakan pemerintah untuk pengesahan RUU TPKS membuka polemik. RUU ini dinilai penuh kontroversi dalam pasal tertentu. Banyak pengamat menilai RUU ini menambah masalah dan justru menumbuh suburkan kejahatan seksual. Lantas, apakah RUU TPKS tepat sebagai memberantas kejahatan seksual?
Dengan semakin tinggi angka kejahatan pada perempuan, maka tidak heran negeri ini darurat kekerasan seksual. Berbagai upaya telah dilakukan seperti memberi hukuman berat seperti kebiri. Namun, kasus kejahatan seksual masih tetap marak terjadi. Jelas, hukum yang berlaku saat ini, mengandung pasal karet. Tidak heran, masih banyak pelaku yang melakukan tindak kejahatan. Sebab, hukum tidak memberi sanksi berat yang membuat para pelaku jera.
Bila kita telaah lebih dalam, kejahatan seksual terjadi karena adanya dorongan memenuhi kebutuhan nalurinya. Akan tetapi, sering kali manusia memenuhi nalurinya dengan mengikuti hawa nafsu. Sehingga hilanglah tata krama dan nilai moral yang seharusnya dimiliki manusia. Ini tidak terlepas dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Serta memberikan kebebasan manusia untuk berbuat apa saja.
Berbeda dengan cara pandang Islam. Semua permasalahan harus dilihat dan diselesaikan dari akarnya. Selain itu, Islam memiliki karakteristik hukum yang khas. Hukum Islam bersumber dari nash-nash syariat serta mekanisme yang jelas ketika permasalahan menimpa umat. Karena itu, hanya hukum syariat yang mampu menyelesaikan masalah sampai tuntas. Berbeda dengan hukum buatan kapitalisme yang bersumber dari akal manusia yang sering berubah-ubah dari satu waktu ke waktu lainnya. Terbatasnya akal manusia dapat menimbulkan konflik baru.
Untuk menuntaskan permasalahan kejahatan seksual dibutuhkan peran negara. Sebagai pengurus urusan umat, negara akan memberlakukan hukum syara' di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari pemisahan interaksi antara perempuan dan laki-laki di tempat umum. Kewajiban menutup aurat secara syar'i. Kebolehan interaksi perempuan dan laki-laki terkait muamalah sesuai syari'at, dan aktivitas lainnya yang sesuai syari'at.
Negara juga akan menutup rapat tayangan atau kontes porno atau aktivitas yang memicu naluri seksual. Sanksi tegas akan diberikan bagi yang melanggar ketentuan syari'at. Sehingga memberi efek jera bagi pelaku dan memutuskan rantai tindak kejahatan seksual.
Dengan menerapkan Islam sebagai aturan hidup manusia, maka perempuan akan terjaga dan terlindungi kehormatannya. Islam dapat diterapkan secara sempurna dalam bingkai Khilafah. Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini