Kapitalisme Merenggut Fitrah Ibu



Oleh : Maftucha S. Pd
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam 


Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Syair indah nan menyentuh jiwa tersebut pasti kita semua bisa menyanyikannya bahkan sangat familiar ditelinga anak kita. Why? Tentu saja Karena kasih seorang ibu memang tidak bisa digantikan dengan apapun, ibu tempatnya kasih sayang bagi anak-anaknya.

Namun kini berita sebaliknya kembali kita dengar, tak masuk di logika ada seorang ibu yang tega menggorok anaknya hingga meninggal dunia, dikabarkan ibu ini juga mencoba untuk mengakhiri hidup dua anaknya yang lain namun masih bisa diselamatkan dengan luka-luka yang cukup serius.

Tidak hanya itu di Jember ada seorang ibu berusia 25 tahun yang tega membuang bayinya yang masih berusia satu bulan ke dalam sumur gara-gara sang ibu depresi karena tidak bisa memberikan asi. Kisah serupa sudah banyak kita dengar dan setiap kali kita mendengar atau membaca berita tersebut hati kita menjadi pilu, ada tanya yang bergelayut kenapa seorang ibu bisa melakukan hal diluar nalar?. 

Siapa dibalik tragedi?

Setiap peristiwa pasti ada latar belakang yang menjadi pemicu, dan jika kita amati berbagai peristiwa tragis pembunuhan anak oleh ibunya sendiri faktor utamanya lebih banyak kepada faktor psikologi ibu yang diakibatkan masalah ekonomi dan pertengkaran suami istri.

Apa yang dilakukan oleh ibu yang membunuh anaknya mereka mayoritas berdalih ingin mengakhiri hidup anaknya supaya tidak mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh ibunya. Himpitan ekonomi akibat suami yang tidak mempunyai pekerjaan akibat phk atau punya namun tidak cukup untuk kebutuhan hidup mereka membuat kaum hawa harus terus memutar otak supaya bisa bertahan.

Kecilnya lapangan pekerjaan serta bersaingnya antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja semakin membuat para suami kehilangan kesempatan untuk bisa menafkahi keluarganya dengan layak, apalagi ditambah dengan pandemi yang datang dan pergi. 

Neoliberalisme dan terenggutnya fitrah ibu

Kehidupan ekonomi yang lebih banyak dikuasai korporasi menjadikan masyarakat tidak terurusi dengan baik, menurut Global Wealth Report 2018 1% Orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 kekayaan di Indonesia. Sisa kekayaan negeri ini harus diperebutkan 99% masyarakat menengah kebawah. Ini artinya terjadi kesenjangan ekonomi yang luar biasa antara yang kaya dan miskin sehingga kesejahteraan hanya berputar pada kalangan elit. 
Neoliberalisme menjadikan kartel-kartel menguasai dan mempermainkan harga barang yang beredar, akibatnya masyarakat harus membeli barang-barang kebutuhan mereka dengan harga selangit, sedangkan pemerintah bak macan ompong tidak berdaya menindak mereka semua. 

Sama saja negeri ini punya pemimpin atau tidak karena kekuasaan mereka  bukan untuk mengurusi rakyat tapi untuk konglomerat, semua kebijakan hanya untuk memuluskan gurita kekuasaan mereka untuk mengeruk kekayaan negeri ini. Rakyat hanya menjadi tumbal ketika terjadi perebutan kursi kekuasaan saat pemilu. 

Lihatlah rakyat semakin kelaparan namun penguasa menghambur-hamburkan uang untuk proyek IKN, para ibu sudah kehilangan akal hingga membunuh anak-anak mereka namun pemerintah justru membiarkan para mafia memanfaatkan kenaikan harga untuk pundi kekayaan mereka. 

Islam melindungi fitrah ibu
Kedudukan wanita dalam Islam sangat dihormati dan dimuliakan, Islam menempatkan wanita dalam kedudukan yang tinggi, sehingga derajatnya tiga tingkat dibandingkan dengan ayah. 

Kedudukan yang tinggi tersebut dikarenakan fitrah wanita sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkan serta tanggung jawab sebagai al umm wa robbatul bait yakni sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dikarenakan tugas yang berat tersebut maka sudah semestinya wanita tidak dibebani untuk mencari nafkah. 

Dalam kehidupan rumah tangga Islam telah menggambarkan hubungan suami istri seperti seorang sahabat, saling mendukung dalam keadaan suka maupun duka, pergaulan suami kepada istri tidak boleh seperti atasan dan bawahan sehingga timbul suasana yang otoriter. Istri sebagai pelaksana tugas dalam rumah sedangkan suami sebagai pencari nafkah. 

Kondisi ideal diatas tentu harus di support oleh negara, karena tugas suami sebagai pencari nafkah jika tidak di dukung oleh negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan maka yang terjadi adalah seperti sekarang, dimana terjadi banyak pengangguran dan perebutan pekerjaan diantara laki-laki dan perempuan. 

Islam membebankan kewajiban untuk mengurus rakyatnya kepada negara. Kholifah sebagai pemimpin negara tak ubahnya seperti junnah atau perisai bagi rakyatnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda "sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukungnya) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya" (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Dan sebaliknya Islam mengharamkan menyerahkan kekayaan milik umat kepada individu maupun korporasi, sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bahwa Rasulullah saw bersabda "kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air dan api". 

Pengelolaan milik umat ini akan dikembalikan pemanfaatannya kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas umum seperti jalan tol, rumah sakit, dll. Bahkan kebutuhan pokok masyarakat harus terjamin, setiap pelanggaran seperti penimbunan dan penipuan akan mendapatkan sanksi yang tegas.

Negara juga akan memberikan edukasi kepada setiap orang yang akan menikah agar memahami hakikat pernikahan dalam islam termasuk hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Sehingga baik suami maupun istri bisa menjadi sahabat yang menyenangkan tanpa dibayang-bayangi kekhawatiran, tentu semua itu hanya Islam yang bisa mewujudkannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak